Modul 11
Intelegensi dan IQ
Berbicara mengenai intelegensi biasanya memang dikaitkan dengan kemampuan untuk pemecahan masalah, kemampuan untuk belajar ataupun kemampuan untuk berpikir abstrak. Perkataan intelegensi berasal dari kata latin Intellegence yang berarti mengorganisasikan, menghubungkan atau menyatukan satu dengan yang lain ( to organize, to relate, to bind together). Istilah intelegensi kadang-kadang atau justru sering memberikan pengertian yang salah, yang memandang intelegensi sebagai kemampuan yang mengandung kemampuan tunggal, padahal menurut para ahli intelegensi mengandung bermacam-macam kemampuan. Namun demikian pengertian intelegensi itu sendiri memberikan berbagai macam arti bagi para ahli.
Menurut panitia istilah Padagogik (1953) yang mengangkat pendapat Stern yang dimaksud dengan intelegensi adalah daya penyesuaian diri dengan keadaan baru dengan menggunakan alat-alat berpikir menurut tujuannya. Dari pengertian ini dapat dilihat bahwa Stern menitikberatkan masalah intelegensi pada soal adjustment atau penyesuaian diri terhadap masalah yang dihadapinya. Pada orang yang intelegen akan lebih cepat memecahkan masalah-masalah yang baru apabila dibandingkan dengan orang yang kurang intelegen. Dalam menghadapi masalah atau situasi baru orang yang intelegen akan cepat dapat mengadakan adjustment terhadap masalah atau situasi yang baru tersebut.
Thorndike sebagai seorang tokoh koneksionisme mengemukakan pendapatnya bahwa “Intelligence is demonstrable in ability of the individual to make good responses from the stand point of truth or fact “. Orang dianggap intelegen apabila responsnya merupakan respon yang baik atau sesuai dengan stimulus yang diterimanya. Untuk memberikan respon yang tepat, individu harus memiliki lebih banyak hubungan stimulus-respon dan hal tersebut dapat diperoleh dari hasil pengalaman yang diperolehnya dan hasil respon-respon yang lalu.
Terman memberikan pengertian intelegensi sebagai “………..the ability to carry on abstract thinking”. Terman membedakan adanya ability yang berkaitan dengan hal-hal yang konkrit dan ability yang berkaitan dengan hal-hal yang abstrak. Individu itu intelegen apabila dapat berpikir secara abstrak secara baik. Ini berarti bahwa apabila individu kurang mampu berpikir abstrak, individu tersebut intelegensinya kurang baik.
Menurut Morgan, dkk ada 2 pendekatan yang pokok dalam memberikan definisi mengenai intelegensi itu, yaitu :
1. Pendekatan yang melihat faktor-faktor yang membentuk intelegensi itu, yang sering disebut sebagai pendekatan faktor atau teori faktor.
2. Pendekatan yang melihat sifat proses intelektual itu sendiri, yang sering dipandang sebagai teori orientasi-proses.
Menurut David Wechsler, inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Menurut David Wechsler, inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi inteligensi adalah :
1. Faktor bawaan atau keturunan
Penelitian membuktikan bahwa korelasi nilai tes IQ dari satu keluarga sekitar 0,50. Sedangkan di antara 2 anak kembar, korelasi nilai tes IQnya sangat tinggi, sekitar 0,90. Bukti lainnya adalah pada anak yang diadopsi. IQ mereka berkorelasi sekitar 0,40 - 0,50 dengan ayah dan ibu yang sebenarnya, dan hanya 0,10 - 0,20 dengan ayah dan ibu angkatnya. Selanjutnya bukti pada anak kembar yang dibesarkan secara terpisah, IQ mereka tetap berkorelasi sangat tinggi, walaupun mungkin mereka tidak pernah saling kenal.
2. Faktor lingkungan
Walaupun ada ciri-ciri yang pada dasarnya sudah dibawa sejak lahir, ternyata lingkungan sanggup menimbulkan perubahan-perubahan yang berarti. Inteligensi tentunya tidak bisa terlepas dari otak. Perkembangan otak sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Selain gizi, rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting.
3. Inteligensi dan IQ
Orang seringkali menyamakan arti inteligensi dengan IQ, padahal kedua istilah ini mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar. Arti inteligensi sudah dijelaskan di depan, sedangkan IQ atau tingkatan dari Intelligence Quotient, adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian, IQ hanya memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan seseorang secara keseluruhan.
Skor IQ mula-mula diperhitungkan dengan membandingkan umur mental (Mental Age) dengan umur kronologik (Chronological Age).
Bila kemampuan individu dalam memecahkan persoalan-persoalan yang disajikan dalam tes kecerdasan (umur mental) tersebut sama dengan kemampuan yang seharusnya ada pada individu seumur dia pada saat itu (umur kronologis), maka akan diperoleh skor 1. Skor ini kemudian dikalikan 100 dan dipakai sebagai dasar perhitungan IQ. Tetapi kemudian timbul masalah karena setelah otak mencapai kemasakan, tidak terjadi perkembangan lagi, bahkan pada titik tertentu akan terjadi penurunan kemampuan.
Pengukuran Inteligensi
Pada tahun 1904, Alfred Binet dan Theodor Simon, 2 orang psikolog asal Perancis merancang suatu alat evaluasi yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan kelas-kelas khusus (anak-anak yang kurang pandai). Alat tes itu dinamakan Tes Binet-Simon. Tes ini kemudian direvisi pada tahun 1911.
Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika mengadakan banyak perbaikan dari tes Binet-Simon. Sumbangan utamanya adalah menetapkan indeks numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio (perbandingan) antara mental age dan chronological age. Hasil perbaikan ini disebut Tes Stanford_Binet. Indeks seperti ini sebetulnya telah diperkenalkan oleh seorang psikolog Jerman yang bernama William Stern, yang kemudian dikenal dengan Intelligence Quotient atau IQ. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.
Salah satu reaksi atas tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet adalah bahwa tes itu terlalu umum. Seorang tokoh dalam bidang ini, Charles Sperman mengemukakan bahwa inteligensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum saja (general factor), tetapi juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih spesifik. Teori ini disebut Teori Faktor (Factor Theory of Intelligence). Alat tes yang dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children) untuk anak-anak. Di samping alat-alat tes di atas, banyak dikembangkan alat tes dengan tujuan yang lebih spesifik, sesuai dengan tujuan dan kultur di mana alat tes tersebut dibuat.
Inteligensi dan Bakat
Inteligensi merupakan suatu konsep mengenai kemampuan umum individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam kemampuan yang umum ini, terdapat kemampuan-kemampuan yang amat spesifik. Kemampuan-kemampuan yang spesifik ini memberikan pada individu suatu kondisi yang memungkinkan tercapainya pengetahuan, kecakapan, atau ketrampilan tertentu setelah melalui suatu latihan. Inilah yang disebut Bakat atau Aptitude. Karena suatu tes inteligensi tidak dirancang untuk menyingkap kemampuan-kemampuan khusus ini, maka bakat tidak dapat segera diketahui lewat tes inteligensi.
Alat yang digunakan untuk menyingkap kemampuan khusus ini disebut tes bakat atau aptitude test. Tes bakat yang dirancang untuk mengungkap prestasi belajar pada bidang tertentu dinamakan Scholastic Aptitude Test dan yang dipakai di bidang pekerjaan adalah Vocational Aptitude Test dan Interest Inventory. Contoh dari Scholastic Aptitude Test adalah Tes Potensi Akademik (TPA) dan Graduate Record Examination (GRE). Sedangkan contoh dari Vocational Aptitude Test atau Interest Inventory adalah Differential Aptitude Test (DAT) dan Kuder Occupational Interest Survey.
Inteligensi dan Kreativitas
Kreativitas merupakan salah satu ciri dari perilaku yang inteligen karena kreativitas juga merupakan manifestasi dari suatu proses kognitif. Meskipun demikian, hubungan antara kreativitas dan inteligensi tidak selalu menunjukkan bukti-bukti yang memuaskan. Walau ada anggapan bahwa kreativitas mempunyai hubungan yang bersifat kurva linear dengan inteligensi, tapi bukti-bukti yang diperoleh dari berbagai penelitian tidak mendukung hal itu. Skor IQ yang rendah memang diikuti oleh tingkat kreativitas yang rendah pula. Namun semakin tinggi skor IQ, tidak selalu diikuti tingkat kreativitas yang tinggi pula. Sampai pada skor IQ tertentu, masih terdapat korelasi yang cukup berarti. Tetapi lebih tinggi lagi, ternyata tidak ditemukan adanya hubungan antara IQ dengan tingkat kreativitas.
Para ahli telah berusaha mencari tahu mengapa ini terjadi. J. P. Guilford menjelaskan bahwa kreativitas adalah suatu proses berpikir yang bersifat divergen, yaitu kemampuan untuk memberikan berbagai alternatif jawaban berdasarkan informasi yang diberikan. Sebaliknya, tes inteligensi hanya dirancang untuk mengukur proses berpikir yang bersifat konvergen, yaitu kemampuan untuk memberikan satu jawaban atau kesimpulan yang logis berdasarkan informasi yang diberikan. Ini merupakan akibat dari pola pendidikan tradisional yang memang kurang memperhatikan pengembangan proses berpikir divergen walau kemampuan ini terbukti sangat berperan dalam berbagai kemajuan yang dicapai oleh ilmu pengetahuan.
BERMACAM-MACAM TEORI MENGENAI INTELEGENSI
Usaha untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan “ Apakah intelegensi itu ? “telah melahirkan bermacam-macam konsepsi atau teori mengenai intelegensi. Berbagai konsepsi itu secara garis besar dapat digolongkan menjadi lima macam, yaitu :
1. Konsepsi-konsepsi yang bersifat spekulatif
Konsepsi-konsepsi ini lahir dari usaha-usaha memberikan keterangan mengenai sifat hakekat intelegensi dengan cara pemikiran secara spekulatif-logis. Spearman didalam bukunya mengelompokkan konsepsi-konsepsi yang bersifat spekulatif filsafat itu menjadi 3 kelompok, yaitu :
a. Yang memberikan definisi mengenai intelegensi umum
b. Yang memberikan definisi intelegensi sebagai kesatuan daripada daya-daya jiwa khusus
c. Yang memberikan definisi intelegensi sebagai taraf umum daripada sejumlah besar daya-daya khusus
Secara singkat pendapat-pendapat tersebut akan dikemukakan disini :
a. Intelegensi umum
Yang dapat dimasukkan dalam kelompok-kelompok ini adalah pendapat-pendapat berikut ini :
i. Ebbinghaus member definisi intelegensi sebagai kemampuan untuk membuat kombinasi
ii. Terman; memberi definisi intelegensi sebagai kemampuan untuk berpikir abstrak
iii. Thorndike; memberi definisi intelegensi sebagai kemampuan untuk membuat koneksi (asosiasi)
iv. Thurnstone; member definisi intelegensi sebagai hal yang dapat dinilai dengan taraf kelengkapan (atau tidak kelengkapan) daripada kemungkinan dalam perjuangan hidup individu.
b. Intelegensi sebagai kesatuan dari daya-daya jiwa yang formal
Walaupun secara konsepsional teori psikologi daya telah ditinggalkan orang, namun pengaruh aliran tersebut sampai kini masih terasa sekali. Dan konsepsi-konsepsi daya mengenai intelegensi ini dapat dikatakan merupakan kelanjutan dari pada pengaruh psikologi daya itu. Menurut konsepsi ini intelegensi adalah kesatuan (kumpulan yang dipersatukan) daripada daya-daya jiwa yang khusus. Karena itu pengukuran mengenai intelegensi juga dapat ditempuh dengan cara mengukur daya-daya jiwa khusus itu. Misalnya daya mengamati, daya mereproduksi, daya mengingat, daya berpikir dan sebagainya. Pendapat yang demikian ini walaupun dalam versi lain nanti akan muncul dalam teori faktor.
c. Intelegensi sebagai taraf umum (general level) daripada daya-daya jiwa khusus
Menurut pendapat-pendapat yang tergolong disini ini, intelegensi adalah taraf umum yang mewakili daya-daya khusus. Konsepsi-konsepsi yang demikian ini timbul dari keyakinan bahwa apa yang diselidiki dengan tes intelegensi itu adalah intelegensi umum. Dan ini merupakan representasi daya-daya khusus.
2. Konsepsi-konsepsi yang bersifat pragmatis
Seperti telah umum diketahui pragmatism mengutamakan kegunaa di dalam kehidupan praktis. Jadi titik tolak penalarannya adalah dari kegunaan didalam praktek itu. Dasar dari konsepsi ini kiranya adalah apa yang dikemukakan oleh Boring, bahwa intelegensi adalah apa yang ditest oleh test intelegensi. Menurut Terman intelegensi itu dapat diukur sesuai dengan definisinya. Pernyataan ini dianalogikan dengan pengetahuan tentang listrik. Pengukuran terhadap listrik tergantung kepada definisi yang diberikan terhadap listrik itu sehingga listrik diukur menurut panasnya, tegangannya, alirannya dan sebagainya.
3. Konsepsi-konsepsi Faktor
Konsepsi-konsepsi ini dinamakan demikian sebenarnya berdasarkan atas kenyataan bahwa didalam menyelidiki dan mencari sifat hakekat intelegensi itu seorang mempergunakan teknik analisa faktor. Suatu teknik yang mula - mula di rintis oleh SPEARMAN, dan kemudian cepat sekali berkembang terutama didaerah Angic Saksis. Test psikologis yang dewasa ini demikian besar peranannnya dalam lapangan psikologi banyak sekali bersandar kepada analisa faktor itu, karena itu konsepsi-konsepsi ini disini akan dikemukakan dengan agak luas.
Salah satu penggunaan terpenting analisa faktor didalam psikologi adalah untuk menetapkan sifat-sifat (aspek-aspek) yang diukur bersama oleh bermacam-macam test dan yang nampak dalam interkorelasi, misalnya demikian :
Dua macam test untuk berhitung dan membaca dalam hati diberikan kepada 100 orang murid dan mempunyai angka korelasi +0.50 : digunakan secara grafis seperti terlihat pada gambar (lihat gambar)
| |
Gambar 1 : korelasi r = 0,50
Bagaimana angka korelasi itu ditafsirkan ? Korelasi menunjukkan adanya hubungan positif pada 100 orang murid itu dalam hal berhitung dan membaca dalam hati. Kita dapat membuat spekulasi mengenai apa yang sama pada kedua test itu sehingga urutan murid-murid itu tersusun mirip pada kedua test itu. Tapi mungkin juga faktor yang diukur bersama itu adalah : kekayaan bahasa, kecakapan berfikir, kecakapan bekerja, dan lain-lain sifat hypothetis. Dalam hal yang demikian inilah analisa faktor dapat memberikan sumbangannya. Sebenarnya, angka korelasi itu saja bukanlah bahan yang cukup untuk menjadi dasar kesimpulan ilmiah. Misalnya test berhitung itu ternyata juga mempunyai korelasi positif dengan test penjumlahan sederhana, yaitu +0,40, seperti terlihat pada gambar 2, maka korelasi ini mungkin disebabkan oleh kecakapan menghitung. Dan lain-lain unsur yang sama pada kedua hal tersebut.
Gambar 2 : korelasi = 0,4
| |
|
|
Jika kita menghadapi soal ini, maka perlulah dicari bagaimanakah kiranya antara membaca dalam hati dan penjumlahan sederhana. Apakah kiranya korelasi itu tidak ada. Jadi r = 0 (seperti terlukis dalam gambar 3 ataukah korelasi jadi r > 0 (seperti terlukis pada gambar 3b).
|
|
r = 0
r> 0
Oleh : Sri Wulandari S.Psi, Psi