Sabtu, 12 September 2009

Konflik Sosial dan Jurnalisme Damai

13. Pokok Bahasan : Konflik Sosial dan Jurnalisme Damai


Mata Kuliah : Teknik WW dan Reportase TV


Dosen : Drs. Adi Badjuri MM



Deskripsi singkat :


Mata kuliah ini memberikan gambaran dan pemahaman mengenai Konflik Sosial dan Jurnalisme Damai, agar mahasiswa dapat memahami langkah-langkah apa saja yang harus dipersiapkan dalam proses berlangsungnya wawancara dan reportase di Media TV.


Tujuan Instruksi Umum :


Setelah mengikuti sessi ini diharapkan para mahasiswa akan memiliki kemampuan dan pemahaman :


1. Memperoleh pengertian dan pemahaman mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Konflik Sosial dan Jurnalisme Damai


2. Memiliki sikap professional yaitu memiliki kedalaman bersikap dan keterampilan teknis dalam menghadapi nara sumber dan ketika wawancara dan reportase berlangsung.


Metode Pengajaran :


Mahasiswa yang telah ditentukan memberikan presentasi mata kuliah bersangkutan dilanjutkan dengan diskusi antar mahasiswa atau tanya jawab sesama mereka di bawah pengawasan dan bimbingan dosen dan ditutup dengan penjelasan terperinci dari dosen.


Dalam mempresentasikan kuliah, mahasiswa dapat menggunakan OHP atau secara lisan. Selama berlangsungnya diskusi antar mahasiswa dosen mendampingi dan menyertai diskusi tersebut sambil mencatat masalah-masalah yang berkembang dalam diskusi.


Konflik Sisial dan Jurnalisme Damai


Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.


Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.


Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut di antaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat.


Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.


Faktor penyebab konflik


Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.


Perbedaan latar belakang kebudayaan .


Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.


Perbedaan kepentingan.


Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang.


Para petani menebang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan.


Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya.


Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.


Perubahan-perubahan nilai .


Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri.


Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan.


Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat yang telah ada.


Jenis-jenis konflik


Menurut Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 4 macam :


Konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role))


Konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).


Konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).


Konflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara).


Akibat konflik


Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai berikut :


Meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang mengalami konflik dengan kelompok lain.


Keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.


Perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga dll.


Kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.


Dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.


Contoh konflik


Konflik Vietnam berubah menjadi perang.


Konflik Timur Tengah merupakan contoh konflik yang tidak terkontrol, sehingga timbul kekerasan. hal ini dapat dilihat dalam konflik Israel dan Palestina. Konflik Katolik-Protestan di Irlandia Utara memberikan contoh konflik bersejarah lainnya.


Banyak konflik yang terjadi karena perbedaan ras dan etnis. Ini termasuk konflik Bosnia-Kroasia (lihat Kosovo), konflik di Rwanda, dan konflik di Kazakhstan.


Jurnalisme Perang dan Jurnalisme Damai.


Jurnalisme Damai (JD) awalnya dipopulerkan oleh Prof.Dr.Johan Galtung dalam sebuah kuliah di Taplow Court, Buckingham Shire, Inggris (1997). Model jurnalisme ini mengambil bentuk yang berlawanan dengan Jurnalime Perang ( JP).


Masih jelas terlintas dibenak semua orang, perang Irak yang dimulai tahun 2003 lalu. Waktu itu, Amerika Serikat (AS) bersama sekutunya, Inggris, menyerang pemerintahan Saddam Hussein. Dengan dalih, Irak menyimpan senjata nuklir yang konon mengancam dunia. Pasukan Koalisi (AS, Inggris dan sekutunya) lalu memporakporandakan negeri 1001 malam itu.


Namun, perang tidak hanya terjadi di padang pasir atau kota-kota di Irak. Perang pun terjadi di televisi. CNN, Fox News dan NBC “bertempur” habis-habisan melawan televisi Al - Jazeera dan Al -`Arabiyya untuk merebut opini publik.


Media-media AS, terang-terangan membela kebijakan politik George W. Bush. Bahkan media-media itu berusaha menggiring penontonnya ke diskursus "starwars". Dimana kecanggihan perlengkapan perang menjadi fokus utama mereka. Penonton "dihipnotis" seolah-seolah perang hanya pertarungan kecanggihan teknologi, tanpa ada korban dari sipil. Tujuan utamanya jelas, agar penonton mendukung perang Irak.


Di sisi berbeda, Al - Jazeera mengangkat pemberitaan korban perang sebagai fokus utama. Cuplikan-cuplikan gambar korban-korban bom AS, memberikan kesan sesungguhnya kepada penonton tentang perang. Al- Jazeera juga menampilkan kekalahan-kekalahan pihak koalisi. Tujuannyapun jelas, membangun semangat anti invasi.


Belajar dari Perang Teluk pertama, ketika Irak menginvasi Kuwait. Petinggi militer AS telah menyadari pentingnya peran media. Waktu itu, AS memakai sistem pool : wartawan dikumpulkan dalam satu pool, lalu ia meliput dengan bantuan militer. Fenomena itu disebut embded journalist yaitu wartawan “melekat” di dalam militer.


Di Indonesia model embded journalist itu pernah terjadi ketika Operasi Darurat Militer II di Aceh tahun 2003. Wartawan yang akan meliput di Aceh diharuskan mengikuti pelatihan militer di markas Kostrad. Bahkan wartawan diwajibkan mengenakan seragam loreng-loreng, tak beda dari tentara sungguhan. Diduga tujuan militer mengeluarkan kebijakan ini, agar wartawan lebih bisa “dikontrol”. Terutama agar berita yang dipublikasikannya tidak "menyudutkan" pemerintahan yang berkuasa. Jelaslah media, menjadi bagian penting dalam perang.


Kembali ke Jurnalime Perang (JP) . Model jurnalisme ini lebih mengedepankan pada hasil menang kalah (win - lose solutions). Seperti pertandingan olahraga, maka kemenangan merupakan berita besar, begitu pula kekalahan. Logika pemikiran ini diambil dari teori jurnalistik klasik, yang dasarnya, tugas wartawan adalah,“melaporkan fakta apa adanya.”


Dalam arena konflik, seperti di Poso, Pontianak dan Ambon. Model JP cenderung terfokus pada kekerasan sebagai penyebabnya dan enggan menggali asal-usul struktural sebuah konflik itu secara mendalam. JP hanya berkosentrasi pada fakta-fakta seperti korban tewas atau terluka, kerusakan material yang kelihatan, bukan kerusakan psikologis, struktur atau budaya. Model JP ini menyelesaika konflik dengan rumus, perdamaian = kemenangan + genjatan senjata.


Model perdamaian ala JP sebenarnya tidak lebih dari bom waktu. Kelompok yang sedang “kalah” saat ini, akan menggunakan perdamaian untuk mengumpulkan kekuatan. Disaat kelompok yang “menang” lengah dan merasa di atas angin. Giliran kelompok yang “kalah” menyerang balik. Ini sama saja konflik tidak berakhir.


Bagaimana dengan Jurnalisme Damai (JD)? Menurut Annabel McGoldrick dan Jake Lynch (2000), Jurnalisme Perdamaian (JD) melaporkan sesuatu kejadian dengan bingkai yang lebih luas, yang lebih berimbang dan lebih akurat, yang didasarkan pada informasi tentang konflik dan perubahan-perubahan yang terjadi.


Tujuan utamanya adalah memetakan konflik, mengindentifikasi pihak-pihak yang terlibat, dan menganalisis tujuan-tujuan mereka. Pendekatan JD adalalah memberikan jalan baru bagi pihak-pihak yang bertikai untuk menyelesaikan konflik secara kreatif dan tidak memakai jalan kekerasan. Prinsip ini disederhanakan dengan rumus, perdamaian = non - kekerasan + kreatifitas.


Logika JD menggunakan pendekatan menang-menang ( win-win solutions) untuk menyelesaikan konflik. JD percaya, kreatifitas menjadi salah kuncinya. Caranya dengan menyediaan alternatif penyelesaikan konflik. Hal itu diyakini mampu mengurangi konflik sampai menuju titik perdamaian.


Pers dalam logika ini berfungsi membangun debat publik yang sehat tentang kepentingan umum. Alur berpikir JD dimulai dari merumuskan (1) masalah (2)penyebab (3) alternatif penyelesaian (4) evaluasi alternatif (5) pilihan alternatif terbaik (6) sistem dan mekanisme pelaksanaan (7) evaluasi dan feedback. Menurut Prof.Dr.Johan Galtung, hikmah menjadi tujuan akhir dari model jurnalisme seperti ini.


Hikmah menjadi bagian yang penting setiap konflik. Menyadari konflik fisik hanya menghasilkan penderitaan. Untuk menyadarkan itulah, dibutuhkannya Pers dengan Jurnalisme damainya.


Daftar Pustaka.




  1. Askurifai Baksin. Jurnalistik Televisi, Teori dan Praktek . Penerbit Simbiosa Rekatama Media. Bandung Th. 2006.


  2. Prof.drs. H.A.W. Widjaja. Ilmu Komuiniasi. Pengantar Studi. Reneka CiptaJakarta. 1988


  3. Sudirman Teba. Jurnalistik Baru. Penerbit Kalam Indonesia. Th. 2005


  4. R. Fadli. Terampil Wawancara. Panduan untuk Talk Show. PT. Grasindo Th. 2005.


  5. Tim Redaksi LP3ES. Jurnalisme, antara Peristiwa dan Ruang Publik. LP3ES. Th. 2006
blog comments powered by Disqus

Posting Komentar



 

Mata Kuliah Copyright © 2009 Premium Blogger Dashboard Designed by SAER