Jumat, 07 Agustus 2009

Sejarah Periklanan











Text Box: PERTEMUAN  1
Text Box: MODUL  PENGANTAR PERIKLANAN (3 SKS)  Oleh : Sugihantoro, S.Sos.







POKOK BAHASAN


Sejarah Periklanan


DESKRIPSI


Modul ini membahas mengenai sejarah periklanan baik di dunia maupun Indonesia. Pemanfaatan periklanan bagi industri modern dalam kaiatannya memasarkan produk ataupun jasa yang diproduksi oleh suatu perusahaan.


TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS


Setelah mempelajari modul ini diharapkan mahasiswa dapat memahami gambaran umum sejarah periklanan.


DAFTAR PUSTAKA


1. Kasali, Rhenald., 1992, Management Periklanan: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.


2. Jefkins, Frank., 1997, Periklanan. Jakarta: Erlangga.


3. Murwani, Endah., 2004, Dasar-Dasar Periklanan, Jakarta: Wacana Jurnal Ilmiah Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama).



MODUL 1


SEJARAH PERIKLANAN


1.1. Munculnya Iklan


Sesungguhnya kegiatan periklanan paling sederhana telah dikenal pada peradaban manusia sebelum 1450 dalam bentuk “pesan berantai”. Pesan berantai itu disampaikan untuk membantu kepentingan lancarnya jual beli dalam masyarakat, yang ketika itu mayoritas masih belum mengenal huruf, sehingga dilakukan secara barter. Dalam dunia pemasaran modern kegiatan pesan berantai itu dengan istilah word of mouth.


Dengan demikian, kegiatan iklan pertama kali dikenal melalui penyebarluasan informasi atau pengumuman yang disampaikan secara lisan. Mengingat pola penyampaikan pesan dilakukan secara lisan, maka jangkuan komunikasi ini sangat sempit. Namun demikian untuk ukuran ketika itu tentunya sudah dianggap paling efektif.


Seiring perkembangan peradaban yang lebih maju yakni peradaban lisan, manusia mulai menggunakan sarana tulisan sebagai alat penyampaian pesan. Ini berarti pesan iklan sudah dapat dibaca berulang-ulang dan dapat disimpan. Sehingga pada masa Yunani dan Romawi, ketika itu iklan mulai digunakan dalam bentuk perkamen (lembaran tulisan dari kulit kayu) untuk kepentingan pemerintahan dan perdagangan. Pada masa ini mulai disadari pentingnya menggunakan medium untuk menyampaikan informasi. Para pemilik usaha menggunakan pahatan di dinding-dinding kota untuk memberitahu orang banyak bahwa mereka mempunyai dagangan terentu. Pada zaman caesar, banyak toko di kota-kota besar yang telah memulai memakai tanda dan simbol atau papan nama sebagai media utama dalam beriklan.


Selanjutnya bentuk iklan mengalami perkembangan menjadi relief-relief yang diukir pada dinding-dinding. Penggalian puing-puing Herculaneum membuktikan hal itu, yakni ketika ditemukan gambar dinding yang mengumumkan rencana penyeleggaraan pesta pertarungan gladiator. Pada zaman caesar, banyak toko di kota-kota besar yang telah mulai memakai tanda dan simbol atau papan nama. Itulah media utama dalam beriklan yang digunakan masyarakat Romawi pada masa itu. Setelah sistem percetakan ditemukan oleh Gutenberg pada tahun 1450 dan muncul sejumlah surat kabar mingguan, iklan semakin sering digunakan untuk kepentingan komersial. Sejak saat itu medium-medium kuno mulai ditinggalkan. Orang beralih ke pamplet atau selembaran-selembaran untuk menginformasikan atau menjual sesuatu.


Pada awal abad 16 dan 17 yang banyak ditampilkan adalah iklan tentang budak belian, kuda, serta produk-produk baru seperti buku dan obat-obatan. Munculnya iklan buku dan obat-obatan ketika itu menunjukkan bahwa waktu itu orang masih memperhatikan kesehatan dan pendidikan.


Dengan demikian di masa lampau, ketika seorang pemilik toko atau pedagang eceran menjual barang-barang dagangan mereka dengan memamerkan ala kadarnya, jelas bahwa apa yang kita kenal sebagai periklanan dewasa ini sangat sulit ditemukan. Mereka melakukan kegiatan periklanan terbatas pada papan-papan nama sederhana yang menunjukkan nama sebuah penginapan, nama bar kecil, serta kios tukang cukur yang dihiasi dengan tabung putar warna-warni atau hiasan lainnya yang sederhana.


Amerika Serikat, negara yang kerap kali memelopori teknik-teknik periklanan modern, baru mulai mengenal iklan pada awal abad ke 18. Iklan-iklan media cetak di Amerika Serikat ketika itu ditujukan pada sasaran pembaca di Eropa yang menyebutkan adanya tanah-tanah garapan yang menantang untuk masa depan di Amerika. Salah satu iklan itu menyebutkan tersedianya tanah perkebunan seluas 150 hektar di daerah Philadephia.


Salah satu contoh iklan terbaik yang merupakan bukti sejarah yang dikenal di Amerika Serikat adalah iklan yang dimuat di Pennsylvania Evening Post edisi 6 Juli 1776. Pesan yang disampaikan, tidak lain adalah Proklamasi Kemerdekaan Amerika Serikat.


1.2. Iklan di Tengah Modernisasi


Sadar ataupun tidak, kita semua sesungguhnya adalah target dari iklan yang mengisi hampir setiap waktu dan langkah dalam berbagai sendi kehidupan. Barangkali ketika pagi hari kita telah terekspose iklan di radio yang disiarkan pada sebuah stasiun radio, atau juga terekspose iklan-iklan televisi yang muncul setiap saat. Bahkan kadang-kadang iklan radio pun disampikan secara ‘soft’ berbaur dengan tema siaran radio. Misalnya seorang penyiar mengucapkan selamat pagi kepada pendengarnya seraya menyampaikan informasi lalu lintas, news update, info prakiraan cuaca dan sebagainya lalu mengucapkan brand sponsor sebagai closing tune-nya. Atau kadangkala penyiar membacakan nama-nama pendengar yang sedang berulang tahun pada hari itu, sekaligus memberikan hadiah dari sponsor tertentu.


Setelah senam pagi dan mandi, sambil minum kopi atau menikmati sarapan pagi, mungkin koran pagi telah sampai di tangan Anda. Andapun lagi-lagi menjadi sasaran ekspose iklan di media cetak mulai halaman pertama dan berikutnya. Iklan itu menawarkan produk properti, otomotif, pendidikan, consumer goods, perbankan, produk elektronik, dan sebagainya. Anda tinggal telepon, selanjutnya costumer service dari perusahaan pengiklan akan melayani segala kebutuhan informasi yang Anda butuhkan sebelum melakukan tindakan pembelian.


Ketika Anda berangkat ke kantor, di sepanjang perjalanan, terlebih-lebih di jalan yang padat dan macet di perempatan jalan, iklan-iklan di luar ruang berbentuk billboard tampak menjajakan diri menawarkan produk properti, otomotif, rokok, perbankan dan sebagainya. Pada umumnya iklan-iklan yang dipasang pada jalan-jalan tertentu akan menyesuaikan diri berdasarkan karakteristik dari pengguna jalan.


Bahkan para pengguna angkutan umum seperti bus, metro mini, kereta api, mikrolet dan sebagainya tetap juga menjadi sasaran iklan. Mungkin di tengah lamunan Anda pada pagi hari, mata Anda menangkap stiker di bagian dalam kendaraan bertuliskan nama perusahaan, atau merek tertentu. Atau sewaktu Anda menoleh ke luar jendela, ketika itu bis mendahului kendaraan yang Anda tumpangi, di bagian luar bis itu Anda akan menemui iklan dalam bentul full body painting.


Ketika Anda di tempat kerja, iklan akan tampil dalam bentuk lebih sopan. Misalnya lewat kalender meja yang sama sekali tidak berbicara tentang produk perusahaan secara bombastis, melainkan berupa gambar-gambar yang mampu menjual produk. Dan ketika duduk di meja makan di restoran, seringkali Anda menemukan nomor meja yang dikeluarkan sebuah bank, atau bahkan piringnya bermerk tertentu sebagai bagian kegiatan promosi.


Kini iklan memang telah merasuki seluruh bagian dari kehidupan manusia. Bukan hanya tempat-tempat milik umum, bahkan seluruh bagian tubuh kita pun sudah menjadi sasaran media iklan. Kadangkala kita memakai kaos promosi, topi yang dikeluarkan oleh produsen tertentu, tas berlabel produk / perusahaan, dan sebagainya.


Kebutuhan akan adanya periklanan ini berkembang seiring dengan ekspansi penduduk dan pertumbuhan kota-kota yang dipenuhi oleh banyak toko, restoran, dan pusat-pusat perdagangan besar. Hal lain yang turut mempengaruhi perkembangan periklanan adalah tumbuhnya pola-pola produksi secara massal di berbagai pabrik, terbukanya jaringan komunikasi darat (dalam bentuk jalan raya dan rel-rel kereta api) yang mengalirkan berbagai barang dari satu tempat ke tempa lain, serta terbitnya surat-surat kabar populer yang menjadi tempat menarik untuk memasang iklan.


Produksi berbagai barang dan jasa secara besar-besaran mengharuskan pihak prosuden membawa dan memperkenalkannya secara aktif kepada calon konsumen dan itu sering dilakukannya melalui periklanan. Produsen tidak bisa lagi berdiam diri menunggu datangnya pembeli. Tanpa iklan, para konsumen yang tinggal jauh dari pusat-pusat produksi tidak akan memperoleh informasi mengenai adanya suatu barang yang dibutuhkannya. Proses ini berlangsung selama sekitar dua ratus tahun di negara-negara industri.


Perkembangan dunia periklanan seiring dengan perkembangan media seperti koran-koran di kedai kopi di masa klasik pad abad ke 17 dan dimulai terbitnya biro-biro iklan pertama seperti White’ pada tahun 1800 yang menangani periklanan lotere resmi pemerintah Inggris. Biro iklan berikutnya, yakni Reynell and Son terbentuk di London pada tahun 1912.


Kehidupan dunia modern kita saat ini sangat tergantung kepad iklan. Tanpa iklan, para produsen dan distributor tidak akan dapat menjual barangnya, sedangkan di sisi lain para pembeli tidak akan memiliki informasi yang memadai mengenai produk-produk barang dan jasa yang tersedia di pasar. Jika itu terjadi, maka dunia industri dan perekonomian modern pasti akan lumpuh. Jika sebuah perusahaan ingin mempertahankan tingkat keuntungannya, maka ia harus melangsungkan kegiatan-kegiatan periklanan secara memadai dan terus-menerus. Produksi massal menuntut adanya suatu tingkat konsumsi yang juga bersifat massal dan prosesnya mau tidak mau harus melibatkan berbagai kegiatan periklanan melalui media massa yang diarahkan ke pasar-pasar yang juga bersifat massal.


Awalnya, biro-biro iklan hanya sekedar menjalankan fungsi makelar / pialang ruang atau kolom iklan di media massa. Fungsi itu terus berlanjut sehingga posisi legal yang utama dari biro iklan tersebut adalah sebagai perantara pihak media massa dan para pengiklan. Biro-biro iklan itulah yang memikul tanggung jawab atas pembayaran kepada media massa, seandainya pihak pengiklan tidak menyerahkan pembayaran sebagaimana seharusnya karena sebab apapun. Seiring dengan perkembangan teknologi proses percetakan yang terus membaik, maka biro-biro iklan juga bersaing untuk menyediakan fungsi-fungsi kreatif seperti pembuatan iklan yang semenarik mungkin kepada para pengiklan. Dengan demikian, kedudukan biro-biro iklan telah mengalami pergeseran dari sekedar makelar ruang iklan menjadi agen-agen pelayanan yang bersifat multifungsi dan independen.


Di lingkungan negara-negara maju, iklan sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Umumnya seseorang membeli suatu produk yang mereka ketahui dari iklan, sekalipun banyak di antara mereka yang seringkali mengkritik atau mencurigai iklan. Walaupun mereka mendapatkan informasi dan manfaat dari iklan, mereka seringkali mengeluh bahwa iklan-iklan itu sebetulnya tidak perlu ada, atau bahkan merupakan pemborosan karena harga barang akan lebih murah seandainya perusahaan pembuatnya tidak memasang iklan.


1.3. Sejarah Periklanan di Indonesia


Sebenarnya iklan bukanlah hal baru dalam sejarah perekonomian di Indonesia. Ini dapat ditunjukkan dari bukti sejarah bahwa iklan telah ada sejak koran beredar di Indonesia lebih dari 100 tahun yang lalu. Ini berarti pertumbuhan industri periklanan di Indonesia sudah dimulai pada zaman pendudukan Belanda, di saat Gubernur Jan Pierterz Coen (1619 - 1625) berkuasa. Pada saat itu sudah diterbitkan lembaran informasi yang ditulis indah (silografi). Dilihat dari fungsi dan bentuknya, lembaran tersebut bersifat informasi pemerintah yang komersial.


Namun demikian, iklan dalam arti sesungguhnya yang menghubungkan kepentingan produsen dan konsumen dengan membayar ruang iklan baru terlihat di surat kabar Bataviaashe Nouvells terbitan Agustus 1744. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa keberadaan industri periklanan berkaitan erat dengan keberadaan industri media.


Perkembangan selanjutnya, pada tahun 1825, surat kabar pada masa itu sudah dimanfaatkan sebagai alat pemasaran yang efektif. Sebagai contoh bisa dilihat iklan yang dimuat dalam surat kabar Tjahaja Sijang yang terbit di Manado sejak 1869. Surat kabar ini semula terbit sebulan sekali dengan ketebalan 8 halaman setiap terbit, ditambah 4 halaman yang disebut “tambahan” dan kadang-kadang pula ditambah lagi dengan 4 halaman untuk apa yang sebut “sepotong kartas Chabar yang ditambahi pada tambahan”. Banyaknya tambahan-tambahan ini disebabkan oleh membanjirnya iklan, yang waktu itu disebut “pemberitahoewan” pada waktu-waktu tertentu.


Fenomena yang menarik ketika itu adalah munculnya iklan dari individu (perorangan) yang jauh lebih banyak daripada iklan perusahaan. Bahkan perkembangan iklan baris dewasa ini tidaklah lebih baik daripada kedaaan seabad yang lalu. Perhatikan cuplikan iklan baris pada surat kabar Tjahaja Sijang berikut ini :


Soedah hilang didjalan Menado-Tondano


Satoe Boekoe koelitnja poeti


(Circulaire Post & Telegraafdienst tahon 1880)


Siapa njang dapat haros bawa itoe boekoe


Di Kantoor Post Menado atas pembajaran


Menado 27 December 1881


PATTIJNAMA


Iklan-iklan pada waktu itu memang belum banyak menggunakan gambar / ilustrasi, sehingga penetapan tarifnya cukup sederhana, yakni didasarkan atas banyaknya baris atau kata. Kebiasaan beriklan masyarakat kita yang menggembirakan kala itu membuat Tjahaja Sijang meningkatkan peredarannya menjadi dwimingguan pada bulan Januari 1901. Hebatnya, penambahan halaman dan frekuensi surat kabar itu sama sekali tidak menaikkan harga langganan per tahun. Ini berarti konsumen disubsidi oleh pemasukan dari iklan. Dan artinya pula, harga surat kabar itu lebih murah 50% dari harga sesungguhnya.


Menarik pula untuk dicatat bahwa Tjahaja Sijang sama sekali tidak memuat iklan dari Batavia. Ini merupakan suatu konsep dan pemikiran yang paling benar untuk media pers daerah. Iklan-iklan yang dimuat bersifat lokal, seperti kedatangan anggur dan mentega dari Belanda, tersedianya lampu-lampu kereta kuda, tentang lelang sapi, dan lain-lain.


Sementara itu di Semarang, pada tahun 1864 sudah ada surat kabar De Locomotief yang beredar setiap hari. Yang menarik perhatian adalah sebuah iklan yang menawarkan tempat penginapan (hotel) dari Paris. Hal ini disebabkan oleh luasnya peredaran surat kabar terkemuka ini hingga ke Paris dan Amsterdam. Simaklah iklan berikut ini :


Grand Hotel des Pays-Bas


82, rue Lafitte, Parijs


eenig Hollandsch Hotel


Hollandsche keuken


Hollandsche courante ter lezing


De Locomotief terbit 4 halaman setiap harinya, dan 50% dari isinya adalah iklan. Pada waktu-waktu tertentu saat iklan luar biasanya banyaknya, penerbit mengeluarkan lembaran tambahan sebanyak dua halaman.


Dalam buku Iklan Surat Kabar, Bejo Riyanto mencatat bahwa pada tahun 1870-an kreativitas dalam penanganan visual dalam pesan periklanan terlihat semakin baik. Hal ini disebabkan oleh faktor internal dan eksternal industri pers maupun periklanan itu sendiri. Pertama, terbentuknya peluang investasi modal swasta secara langsung dalam bidang industri periklanan dan perdagangan di Jawa. Kedua, pertumbuhan perekonomian masyarakat pribumi dan industrialisasi melahirkan sejumlah produk yang memerlukan kegiatan pemasaran. Pertumbuhan perekonomian memungkinkan terbentuknya suatu masyarakat konsumen yang potensial untuk pemasaran produk industri dan jasa modern di pulau Jawa.


Secara internal, industri pers mulai berkembang dan mampu mendistribusikan surat kabar secara luas hingga ke luar pulau Jawa. Selain itu teknologi percetakan pun semakin baik dan industri pers berkembang di kota-kota besar di nusantara. Bahasa pengantar yang digunakan pun disesuaikan dengan khalayak sasaran penerbitan, yaitu bahasa Cina, Melayu, Jawa dan Sunda. Untuk menjaga kelangsungan hidup, penerbitan pers butuh dukungan dari iklan. Sebaliknya, hal ini menimbulkan peluang bisnis tersendiri, yaitu munculnya industri jasa periklanan yang dikelola dengan lebih baik.


Setelah kemerdekaan negara Indonesia, istilah periklanan belum dikenal. Kata yang digunakan adalah reklame. Pada masa itu sudah banyak perusahaan periklanan yang dimiliki oleh orang Belanda dan Indonesia. Perusahaan periklanan yang ada pada masa pasca kemerdakaan antara lain Aneta, Pikat, Reka, dan Indonesia Reclame and Advertentie Bureau (IRAB). Sedangkan di Bandung ada Balai Iklan yang sampai sekarang tetap bertahan.


Pada tahun 1949, atas prakarsa beberapa perusahaan periklanan yang berdomisili di Jakarta dan Bandung, dibentuklah suatu asosiasi bagi perusahaan-perusahaan periklanan dengan nama Van Reclame Bureau in Indonesia - dalam bahasa Indonesia berarti Perserikatan Biro Reklame Indonesia (PBRI). Ada sebelas perusahaan yang menjadi anggota PBRI diantaranya adalah Contact, De Unie, F Bodmer dan Frank Klein. Namun demikian, PBRI ternyata kurang mampu menampung aspirasi perusahaan periklanan milik orang Indonesia dikarenakan domisili perusahaan periklanan milik orang Belanda. Situasi tersebut memicu berdirinya asosiasi perusahaan periklanan lainnya, yakni Serikat Biro Reklame Nasional (SBRN) pada tahun 1953.


Pada tahun 1957 diselenggarakan kongres PBRI Reklame pertama yang menghasilkan keputusan penting yaitu merubah kata perserikatan menjadi persatuan, sehingga makna PBRI menjadi Persatuan Biro Reklame Indonesia. Dan pada tahun 1972, pemerintah melalui Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika (PPG) Departemen Penerangan Republik Indonesia, menyatakan bahwa PBRI adalah satu-satunya wadah perusahaan periklanan di Indonesia.


Sejalan dengan perkembangan bahasa Indonesia, istilah Biro Reklame yang sebelumnya digunakan oleh asosiasi diganti menjadi perusahaan periklanan. Hal ini untuk membedakan pencitraan dari biro reklame pinggir jalan. Akhirnya PBRI pun berubah nama menjadi Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia.


1.4. Pertumbuhan Periklanan Era Modern di Indonesia


Industri periklanan modern di Indonesia mulai tumbuh di awal tahun 1970-an untuk mengantisipasi kebutuhan periklanan perusahaan-perusahaan yang sedang tumbuh akibat dikeluarkannya UU Penanaman Modal Asing (UU PMA) di tahun 1967 dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (UU PMDN) di tahun 1968. Hasilnya adalah cukup banyak perusahaan dan pabrik yang merambah pasar Indonesia.


Pelopor periklanan modern di Indonesia diantaranya adalah Intervesta, Matari, Fortune, Metro, Perwanal. Intervesta yang muncul pada tahun 1964 dianggap sebagai cikal bakal perusahaan periklanan modern, karena untuk pertama kalinya perusahaan periklanan tersebut mengenalkan teknik-teknik periklanan modern seperti menggunakan naskah iklan bertuliskan tangan atau menata huruf di atas timah agar hasilnya baik. Akan tetapi sejak tahun 1990-an Invervesta sudah tidak beroperasi lagi. Perusahaan lainnya yaitu Matari yang didirikan pada tahun 1971 untuk mengantisipasi kebutuhan periklanan perusahaan-perusahaan yang tumbuh akibat munculnya dua undang-undang tersebut.


Tetapi kita tidak bisa mengabaikan Unilever sebagai perusahaan yang ikut dalam proses perjalanan periklanan modern dengan selalu memikirkan manfaat periklanan. Keseriusan Unilever menggarap komunikasi periklanannya terlihat dengan dibentuknya Lintas (Lever International Advertising Service) sebagai inhouse agency. Melalui Lintas, Unilever membangun sumberdaya yang sangat penting bagi ekuitas merek di masa depan, sehingga memungkinkan Unilever menjadi dominan di pasar barang konsumsi saat ini. Kemudian pada tahun 1980an Unilever memisahkan Lintas menjadi lebih independent. Bahkan dari Lintas lahirlah sumberdaya periklanan handal yang mengembangkan perusahaan periklanan baru seperti Cabe Rawit.


Pertumbuhan perekonomian yang terus meningkat membuat pasar Indonesia menjadi penting bagi produk-produk yang berasal dari Amerika, Eropa maupun Jepang. Sebagian besar produk yang diiklankan adalah produk impor dan produk joint ventura seperti Lux, Tancho, Coca Cola, Kao dan sebagainya.


Pada era 80-an, belanja iklan Indonesia dibandingkan anggota ASEAN lainnya masih sangat kecil. Rendahnya belanja iklan per kapita di Indonesia ini salah satunya disebabkan oleh regulasi pemerintah dengan menutup sama sekali iklan di pasang di televisi (TVRI) mulai tanggal 1 April 1981. Padahal iklan di siaran televisi itu telah ada sejak TVRI mengudara pada tanggal 1 Maret 1963. Dan alasan yang diajukan pemerintah di pedesaan yang terekspose oleh televisi tidak menjadi ‘korban’ siaran iklan yang merangsang emosi konsumsinya. Namun alasan lain yang tidak disebutkan adalah ketika itu kita tengah mengalami panen “emas lewat bom minyak” (oil boom) pada sektor ekspor kita sehingga televisi dapat tetap mengudara tanpa bantuan iklan sekalipun.


Terlepas dari pro kontra siaran iklan televisi yang banyak diributkan pengamat ekonomi pada tahun 1987 itu, total belanja iklan yang dikeluarkan oleh produsen pata tahun 1987 meningkat 136%, bila dibandingkan dengan angka pada tahun 1980. Dalam nilai nominal total billing iklan pada tahun 1987 itu mencapai 270 milyar rupiah. Dari jumlah tersebut, alokasi untuk media cetak sebesar 71% (koran 51% dan majalah 20%), papan reklame 15%, radio 12% dan lainnya 2%.


Perkembangan periklanan dalam 2 dekade belakangan ini terbilang sangat pesat. Apalagi sejak kemunculan stasiun-stasiun televisi swasta di Indonesia sejak 90-an, sektor perdagangan dan industri sangat terbantu program perluasan pemasarannya melalui iklan di media televisi. Dimulai beroperasinya televisi swasta di Jakarta, menyusul di Surabaya, dan kota-kota lainnya, maka alokasi belanja iklan khususnya di media televisi terus berkembang sangat pesat.


Di sisi lain, memasuki era 1990 birokrasi pemerintah mulai longgar sehingga beberapa koran baru yang dimiliki pemodal kuat memasuki pasaran. Media luar ruang pun semakin meningkatkan keahlian dan teknologinya. Kesemuanya ini akan merangsang produsen yang bekerja sama dengan biro iklan untuk mengantur bauran media (media mix) dengan anggaran yang lebih besar.


Kondisi tersebut langsung direspon oleh pengusaha-pengusaha melalui berdirinya biro-biro iklan baik dalam skala besar, menengah, maupun kecil. Tak terkecuali biro iklan asing yang mulai merambah pasar Indonesia yang sangat besar. Pada era 90-an sudah ada sekitar 20-an perusahaan periklanan yang berafiliasi dengan perusahaan periklanan Indonesia. Beberapa diantaranya adalah AdForce yang berafiliasi dengan J. Walter Thompson, Indo Ad berafiliasi dengan Ogilvy & Mather, Kreasindo berafiliasi dengan Leo Burnet, AdWork dengan Euro-RSCG, Komunika dengan BBDO. Namun demikian sampai sekarang hanya Matari dan Fortune yang bertahan sebagai perusahaan periklanan lokal.


Hingga era 2000-an ini telah ratusan biro iklan yang menjadi anggota PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia). Jumlah biro iklan di luar anggota PPPI tersebut tentunya juga sangat banyak tak terhitung jumlahnya.


1.5. Nilai Ekonomis Iklan dalam Pemasaran


Manfaat iklan yang terbesar adalah membawa pesan yang ingin disampaikan oleh produsen kepada khalayak. Iklan menjangkau berbagai daerah yang sulit secara fisik oleh produsen melalui jenis pemasaran lainnya. Sekalipun memerlukan biaya yang secara nomimal sangat besar jumlahnya, namun bagi produsen yang dapat memanfaatkan kreativitas dalam periklanan, strategi iklan yang tepat dapat menjadi sangat murah.


Biaya iklan di negara-negara berkembang umumnya dianggap mahal karena berbagai sebab. Jangkauan yang terbatas serta daya beli media yang rendah bagi kebanyakan masyarakatnya menyebabkan biaya iklan menjadi mahal. Problem seperti itu juga seringkali ditemui di Indonesia. Surat kabar terbesar di Indonesia dengan oplah sekitar 600.000 eksemplar misalnya dan tersebar di seluruh kota besar, ternyata tidak seberapa jumlahnya dibandingkan jumlah penduduk yang jumlahnya di atas 200 juta jiwa.


Hal ini dapat dimaklumi selain karena di setiap kota telah muncul surat kabar, pola jaringan transportasi, daya beli, minat baca, sistem percetakan yang terpusat menjadi kendala surat kabar untuk dapat menjangkau area nasional.


Namun demikian, promosi dengan menggunakan media massa masih dianggap lebih ekonomis. Sebagai contoh kita memasang iklan di surat kabar Kompas ukuran 3 kolom x 200 mm dengan biaya per mm adalah Rp 62.000,- (tarif iklan tahun 2008), maka biaya yang harus kita keluarkan adalah Rp 37.200.000,-. Jika oplah surat kabar adalah 600.000 dengan rata-rata 1 surat kabar dibaca 5 orang maka total pembaca adalah 3.000.000 pembaca. Maka biaya untuk menjangkau 1 orang adalah Rp 37.200.000 : 3.000.000 = Rp 12.4,- Bandingkan dengan jika kita harus mencetak brosur sendiri serta biaya mengedarkannya untuk menjangkau jumlah yang sama. Tentunya biayanya akan terasa membengkak sangat mahal.


Jika dengan uang Rp 37.200.000,- itu produsen berhasil menjual 50 unit furniture seharga Rp 5.000.000,- / unit, maka total pendapatan adalah Rp 250.000.000,-. Biaya iklan per satu unit furniture adalah Rp 37.200.000,- : 50 unit = Rp 744.000,-. Dengan demikian biaya iklan adalah 14.88% dari total penjualan (Rp 37.200.000,- / Rp 250.000.000,- x 100).


Nilai ekonomis iklan ini sangat tergantung pada daya jangkau media yang digunakan serta karakteristik khalayak sasarannya. Ada kalanya seorang pemasang iklan harus memilih untuk memasang iklan di surat kabar atau majalah yang oplahnya kecil dan total biaya yang lebih mahal, namun dapat menjangkau pasar potensial yang lebih optimal.


Kini produk barang dan jasa itu sendiri, baik penamaannya, pengemasannya, penetapan harga dan distribusinya, semuanya tercermin dalam kegiatan periklanan yang diseringkali disebut sebagai ‘darah kehidupan’ bagi suatu organisasi/perusahaan. Tanpa adanya periklanan, berbagai harga produk barang atau jasa tidak akan dapat mengalir secara lancar ke para distributor atau penjual, apalagi sampai ke tangan konsumen atau pemakainya.


Keberhasilan dari suatu perekonomian secara nasional banyak ditentukan oleh kegiatan-kegiatan periklanan dalam menunjang usaha penjualan yang menentukan kelangsungan hidup produksi pabrik-pabrik, terciptanya lapangan pekerjaan, serta adanya hasil yang menguntungkan dari seluruh uang yang telah diinvestasikan. Apabila proses berhenti, maka terjadilah resesi. Hal ini dibuktikan oleh kanyataan bahwa negara-negara yang makmur senantiasa disemarakkan oleh kegiatan-kegiatan periklanan yang gencar.


Sedangkan di negara-negara dunia ketiga, di mana dasar perekonomiannya masih lemah dan kegiatan periklanannya masih berada pada taraf minimum, lapangan kerja begitu sulit didapat sehingga begitu banyak kaum muda yang potensial tidak dapat menemukan sumber nafkah.


1.6. Strategi Pemasaran dan Periklanan pada Era Periklanan Modern.


Era periklanan modern di Indonesia dapat dikatakan mulai berkembang pada tahun 1970-an seiring dengan berkembangnya pemasaran. Untuk itu, era periklanan moden di Indonesia dapat dilihat dari 3 era yaitu, tahun 1970-1979 yang dinamakan sebagai era seller market - era di mana strategi pemasaran dan periklanan lebih diarahkan pada penjualan, tahun 1980-1989 yang merupakan era consumer market - era di mana strategi pemasaran dan periklanan lebih diarahkan pada kepuasan konsumen; dan era tahun 1990-an yaitu era efektifitas dan efisiensi - era di mana dalam strategi pemasaran dan periklanan lebih diarahkan pada efektifitas dan efisiensi.


Pada tahun awal sampai akhir tahun 1970-an yang disebut sebagai era seller market, memiliki karakteristik pemasaran sbb :


a. Pilihan produk terbatas


b. Penjual lebih berperan daripada pembeli


c. Daya beli pasar rendah


d. Persaingan masih rendah antar produk


e. Distribusi masih ditangani sendiri oleh produsen


f. Antisipasi pasar bersifat reaktif


g. Konsumen pasif


Karakteristik pemasaran yang telah disebut diatas juga mempengaruhi strategi komunikasi pemasaran/periklanan yaitu sbb :


a. Menonjolkan produk, bukan merek


b. Dominan pada strategi kreatif


c. Pesan monoton / satu arah


d. Lebih berorientasi pada kesan


e. Pemilihan media lebih pada above the line (televisi, surat kabar, majalah dan radio)


f. Tujuannya adalah penjualan


g. Yang beriklan secara aktif sebatas consumer good


h. Peranan biro iklan belum menonjol, karena produk sangat terbatas belum ada persaingan ketat antar merek.


Pada tahun 1980-an strategi pemasaran mulai mengarah pada kepuasan konsumen, yang ditandai dengan hal-hal sebagai berikut :


a. Daya beli perorangan meningkat


b. Munculnya kelas menengah baru (yuppies) yang menuntut status merek (prestise)


c. Pilihan produk sudah banyak


d. Konsumen aktif


e. Pemasaran mulai menggunakan konsep positioning


f. Persaingan area bisnis


g. Antisipasi pasar bersifat pro aktif


h. Persaingan melibatkan kemasan, merek, dan image (bukan cuma produk)


i. Orientasi pada kepuasan konsumen


j. Distribusi ditangani perusahaan profesional


k. Perusahaan jasa dan industri mulai beriklan seperti perbankan, hotel, restoran, asuransi, industri mobil dan sebagainya.


Strategi pemasaran yang mengarah pada kepuasan konsumen juga mempengaruhi strategi komunikasi pemasaran / periklanan.


a. Program periklanan dipadukan dengan pemasaran


b. Marketing mix dan promotion mix dilaksanakan secara konsisten dan terpadu, menggunakan konsep IMC (Integrated Marketing Communications).


c. Menggunakan media above the line (seperti media massa) dan below the line (seperti sales promotion, lomba berhadiah, publisitas, sponsor, dan sebagainya) secara kreatif. Namun demikian belum berupaya menghitung efektifitas dan efisiensinya.


d. Biro iklan bukan lagi hanya sebagai agency atau supplier, tetapi sudah dijadikan konsultan komunukasi pemasaran.


e. Profesional di bidang periklanan mulai memiliki nilai dan posisi yang baik.


f. Pertumbuhan periklanan yang cepat tidak didukung jumlah SDM yang mampu dan memadai, sehingga biro iklan Indonesia mengimpor SDM asing.


Pada tahun 1990-an strategi pemasaran mulai berubah lagi seiring dengan era globalisasi, dengan karakteristik sebagai berikut :


a. Era globalisasi


b. Gaya hidup kosmopolitan, membentuk sub kultur baru


c. Produk sangat variatif (kondominium, telepon selular, cafe, cruise dan sebagainya)


d. Persaingan yang ketat antar merek. Pada akhir tahun 1990-an sudah mencapai 1800 merek.


e. Muncul sistem member (cusomer club) sebagai strategi dan taktik CRM (customer retention marketing) dan loyalty management.


f. Pemasaran sangat profesional


g. Sistem franchise (waralaba) mulai berkembang


h. Pasar sudah fragmented (bukan saja segmented)


i. Pemasaran berorientasi ke micro marketing


j. Biaya produksi sangat besar


Komunikasi pemasaran / periklanan di era efektifitas dan efisiensi adalah sebagai berikut :


a. Kehadiran televisi swasta pada awal tahun 1990 membuat pilihan media sangat beragam


b. Komunikasi pemasaran tidak lagi sebatas pada kampanye periklanan, namun juga sudah menyertakan event, upaya kehumasan dan sponsorship


c. Indirect marketing menjadikan media lokal berkembang dengan baik. Media komunitas juga mulai berkembang.


d. Berkembangnya below the line, store marketing, pameran, media eksklusif, transportation advertising, marketing public relations, event dan sebagainya.


e. Hanya biro iklan yang berorientasi kepada marketing yang mampu bertahan.


f. Kepemilikan perusahaan periklanan dimiliki asing, partner.


g. Perusahaan penunjang komunikasi pemasaran tumbuh pesat, seperti PH, event organizer, riset pemasaran, sales promotion, dan sebagainya.


h. Keahlian baru seperti specialist media, account planning, brand strategist.

blog comments powered by Disqus

Posting Komentar



 

Mata Kuliah Copyright © 2009 Premium Blogger Dashboard Designed by SAER