Jumat, 21 Agustus 2009

Hukum dan Etika dalam Perspektif Penyiaran 2

Text Box: MODUL HUKUM & ETIKA PENYIARAN (3 SKS)



POKOK BAHASAN


Hukum dan Etika dalam Perspektif Penyiaran


Oleh: Afdal Makkuraga Putra



Dalam perspektif sosiologi, manusia tidak bisa hidup tanpa berhubungan dengan manusia lainnya. Melalui hubungan antar sesama manusia mempertunjukkan eksistensi dirinya. Singkat kata tanpa hubungan antar manusia niscaya tak akan ada kehidupan sosial. Hubungan antarmanusia itulah disebut sebagai interaksi sosial. Interkasi sosial dibentuk oleh dua kegiatan; kontak sosial dan komunikasi.[1]



Kontak sosial berasal dari bahasa Latin Con atau Cum yang artinya bersama-sama dan Tango yang artinya menyentuh. Secara harfiah kontak sosial dapat diartikan “bersamasama menyentuh.” Secara fisik kontak baru terjadi apabila terjadi hubungan badaniyah, seperti bersalaman dll. Namun perlu ditekankan sebagai gejala sosial hubungan badaniyah bukanlah suatu kemutlakan. Dengan bantuan teknologi,orang berbicara melalui telepon misalnya sudah bisa disebut terjadi kontak sosial. Sedangkan komunikasi diartikan sebagai penyampaian pesan antar manusia dengan menggunakan bahasa berbal maupun non verbal, menggunakan atau tanpa menggunakan saluran untuk mencapai tujuan bersama.[2]



Interaksi sosial dapat berupa kerjasama (co-operation), persaingan (competition) dan bahkan berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflik). Kerjasama diartikan disini sebagai suatu aktivitas yang dikerjakan antara orang-perorang atau kelompok manusia untuk mencapai tujuan bersama. Di dalam kerja-sama terdapat unsur pembagian kerja berdasarkan kemampuan dan kecapakan masing-masing anggota kelompok. Sedangkan persaingan menurut Soerjono Soekanto adalah suatu proses sosial di mana orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing, mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian dari publik (baik perseorang maupun kelompok manusia) dengan cara usaha-usaha menarik perhatian publik atau dengan cara mempertajam prasangka yang telah ada, tanpa mempergunakan ancaman


atau kekerasan.[3]


Berbeda dengan persaingan, konflik didasari pada adanya perbedaan pada masing-masing individu atau kelompok-kelompok. Perbedaan-perbedaan tersebut bisa berwujud perbedaan kebudayaan, latar belakang pemikiran dan perbedaan lainnya. Dalam melakukan hubungan sosial atau berkomunikasi yang makin dipertajam adalah pebedaan-perbedaan tersebut sehingga muncul pertentangan atau konflik. Dalam posisi berkonflik masing-masing perserta konflik selalu ingin menghancurkan satu sama lainnya. Yang ada dalam dirinya hanyalah nafsu dan amarah.



Interaksi sosial manusia bisa juga dilihat dari aspek antropologi. Dalam ilmu tersebut gambaran manusia terungkap dalam berbagai dimensi, sebagai makhluk yang beradab yang dengan kemampuan berpikirnya mempunyai keinginan untuk hidup berbudaya dalam komunitas bersama.



Namun demikian Thomas Hobbes berusaha mengajukan sebuah tesis bahwa manusia terlahir dengan sifat yang biadab, yakni bagaikan serigala. Kehidupan liar ini terlihat dalam gambaran Hobbes yang dikenal dengan “homo homini lupus” yang pengertiannya manusia akan menjadi serigala bagi manusia lainya. Dalam hal ini tergambar siapa yang kuat dialah yang akan menang. Berbeda dengan Hobbes, filsuf Yunani, Aristoteles membantah pandangan Hobbes, ia mengatakan bahwa manusia itu pada dasarnya mempunyai sifat zoon politicon yang memiliki keinginan kuat untuk hidup berkelompok dan berkumpul dengan manusia lainya. Sebagai makhluk sosial manusia membutuhkan manusia lainnya untuk memenuhi kebutuhannya.[4]



Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam interkasi antar manusia tidak hanya kerjasama yang muncul melaikan juga persaingan dan pertentangan. Oleh karena itu diperlukan adanya aturan yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam mengadakan kontak atau hubungan. Aturan itu adalah hukum.



1.1 Pengertian Hukum


Pengertian hukum sulit diberikan secara perdefenisi. Ini disebabkan oleh keberagaman disiplin ilmu dan latar belakang seseorang yang memberikan defenisi. Namun bukan berarti hukum sulit dimengerti dan dipelajari. Jika kita hendak merumuskan pengertian hukum, setidaknya unsur-unsur hukum harus kita ketahui. Unsur-unsur pengertian hukum tersebut antara lain:


(1) hukum dipahami sebagai perangkat peraturan


(2) hukum dibuat oleh ”penguasa” berwenang


(3) Bentuk hukum bisa tertulis atau tidak tertulis


(4) Mengandung sifat memaksa


(5) Ada sanksi bagi pelanggarnya


(6) Ditujukan bagi aspek perilaku manusia dan


(7) Bertujuan menciptakan keamanan, ketertiban dan keadilan.



Secara etimologis kata hukum sering disamakan dengan law (Inggris) dan recht (Belanda) yang berasal dari bahasa Arab, yakni Ahkam, artinya segala hukum, undang-undang atau peraturan yang dihasilkan dari proses musyawarah para wakil rakyat. Sedangkan dalam konteks kedaulatan, kata “hakim-iyah” diartikan bahwa kedaulatan hukum yang merupakan kekuasaan tertinggi.[5]



Untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang hukum, berikut ini dikemukakan beberapa defenisi tentang hukum untuk dapat dijadikan pegangan dalam menemukan pengertian hukum:





  1. Hukum adalah semua peraturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan pada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa negara dalam melakukan tugasnya (Prof. Mr. EM. Meyers)


  2. Hukum adalah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu (Leon Dequit)


  3. Hukum adalah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari seseorang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang lain menurut peraturan hukum tentang kemerdekaan (Immanuel Kant)


  4. Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan yang berisi perintah dan larangan yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karenanya harus ditaati oleh masyarakat itu (Utrecht, 1996)


  5. Hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi yang disebut hukum dan tujuan hukum itu adalah mengadakan ketatatertiban dalam pergaulan manusia sehingga keamanan dan ketertban terjamin (SM. Amin, SH)


  6. Hukum adalah seluruh aturan (norma) yang harus diturut dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian jika melanggar aturan-aturan itu, akan membahagiakan diri sendiri atau harta, misalnya orang akan kehilangan kemerdekaan dan didenda (MH. Tirtaatmaja, SH)


  7. Hukum adalah perangkat peraturan baik yang bentuknya tertulis atau tidak tertulis, dibuat oleh penguasa yang berwenang, mempunyai sifat memaksa dan atau mengatur, mengandung sanksi bagi pelanggarnya, ditujukan pada tingkah laku manusia dengan maksud agar kehidupan individu dan masyarakat terjamin keamanannya dan ketertibannya.


Dari serangkaian defenisi dia tas, umumnya hukum diartikan sangat beragam sebagai berikut:[6]


1. Hukum diartikan sebagai produk keputusan penguasa


2. Hukum diartikan sebagai produk keputusan hakim


3. Hukum diartikan sebagai petugas/pekerja hukum


4. Hukum diartikan sebagai wujud sikap tindak/perilaku


5. Hukum diartikan sebagai norma dan kaidah


6. Hukum diartikan sebagai tata hukum


7. Hukum diartikan sebagai tata nilai


8. Hukum diartikan Ilmu


9. Hukum diartikan sebagai sistem ajaran (disiplin hukum)


10. Hukum sebagai gejala sosial.



Tujuan Hukum


Karena hukum bersifat memaksa, maka barang siapa yang melangar hukum wajib


mempertangung jawabkan secara hukum dan dapat dikenai sanksi sesuai dengan


pelanggarannya. Hukum diperlukan untuk:[7]




  1. Menjaga keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat, terutama mengenai pelaksanaan hak-hak pribadi.


  2. Menjaga agar tidak terjadi konflik antar bermasyarakat sehingga keseimbangan hidup bermasyarakat dapat tercapai. Hukum hadir untuk menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi agar kondisi sosial yang tidak seimbang dapat dipulihkan kembali seperti sedia kala.


  3. Menjamin terciptanya suasana aman, tertib dan nyaman untuk mendukung tercapainya tujuan hidup bersama dan sejahtera.


1.1.1 Pengertian Hukum Dalam Konteks Komunikasi


Ada pepatah dalam bahasa latin yang berbunyi “Ubi ius ubi societas” artinya di mana ada hukum di situ ada masyarakat. Dalam konteks ilmu komunikasi pepatah itu berbunyi “Ubi comunicatio ubi ius” artinya tidak ada hukum seandainya tidak ada proses penyampaian pesan antar manusia (komunikasi).



Kalau kita merujuk pada pengertian hukum berdasarkan etimologis bahasa Arab tersebut maka hukum dalam konteks ilmu komunikasi diartikan undang-undang atau peraturan yang dihasilkan dari proses musyawarah wakil rakyat yang ditujukan untuk mengatur proses penyampaian pesan antar manusia. Disini kita kemudian mengenal UU Pers, UU Penyiaran, UU Perfilman dll.



Menurut A, Muis hubungan antara komunikasi dan hukum menghasilkan dua pengertian yakni komunikasi hukum dan hukum komunikasi. Komunikasi hukum adalah mempelajari komunikasi dan hukum secara imperatif normatif. Dalam kontek ini undang-undang, peraturan dan yurisprudensi adalah proses penyampaian pesan (komunikasi dan informasi) kepada masyarakat dengan tujuan memaksakan prilaku tertentu sesuai kaidah hukum itu sendiri. Pengertian ini merujuk pada pengertian hukum berdasarkan etmologis tersebut di atas.



Sedangkan hukum komunikasi adalah akibat-akibat hukum yang muncul dari proses


penyampaian pesan antar manusia.[8] Yang termasuk dalam pengetian ini misalnya, pencemaran nama baik melalui media massa, menghinaan terhadap kepala negara melalui media massa, dan lain-lain.



1.2 Pengertian Etika


Mengapa seluruh sektor kehidupan manusia memerlukan etika? Pertanyaan ini sungguh mengelitik, karena hampir setiap profesi memerlukan etika. Dalam dunia kedokteran misalnya ada etika kedokteran, dalam dunia pengacara (lawyer) ada etika pengacara demikian juga dalam dunia jurnalis ada etika wartawan.


Etika berasal dari kata Ethos yang berarti watak atau adat dan asal kata moral yang sama artinya dengan kata etik dari bahasa Latin, ”mos” jamaknya ialah ”mores” yang juga berarti adat atau cara hidup.[9]



Aristoteles, di dalam uraian teorinya tentang moral menggunakan istilah ”ethe” yang berarti baik-buruknya suatu sifat (kejahatan dan keutamaan) dalam bahasa latin kata ethikos diterjemahkan menjadi mores yang berarti kebiasaan. Istilah itu kemudian berubah arti dalam buku Aristoteles ”Ethique a Nicomaque, karena selain kata ethos yang berarti ”kualitas suatu sifat” digunakan juga istilah etos berarti suatu cara berfikir dan merasakan, suatu cara bertindak dan bertingkah laku yang memberi ciri khas kepemilikan seseorang terhadap kelompok dan sekaligus merupakan tugas. Istilah yang kedua ini sesuai dengan terjemahan dalam bahasa latin ”moralis” (mos, moris = adat, kebiasaan). Istilah ”moralis” ini kemudian menjadi istilah teknis yang tidak lagi berarti kebiasaan tetapi mengandung makna ”moral” seperti digunakan dalam pengertian sekarang. ”Moral” selalu dikaitkan dengan kewajiban khusus, dihubungkan dengan norma sebagai cara bertindak yang berupa tuntutan entah relatif entah mutlak. Jadi ”moral” merupakan wacana normatif dan imperatif yang diungkapkan dalam kerangka yang baik dan buruk, yang dianggap sebagai nilai mutlak atau transenden, yaitu keseluruhan dari kewajiban-kewajiban kita. Jadi, kata moral mengacu pada baik buruknya manusia terkait dengan tindakannya, sikapnya dan cara mengungkapkannya[10]



Moral mencoba menjawab pertanyaan: ”Apa yang harus saya lakukan?” Dengan demikian, konsep ”moral” ini mengandung dua makna: 1) keseluruhan aturan dan norma yang berlaku, yang diterima oleh suatu masyarakat tertentu sebagai arah atau pengangan dalm bertindak, dan diungkapkan dalam kerangka yang baik dan yang buruk; 2) disiplin filsafat yang merefleksikan tentang aturan-aturan tersebut dalam rangka mencari pendasaran dan tujuan atau finalitasnya.



Etika biasanya dimengerti sebagai refleksi filosofis tentang moral. Jadi, etika merupakan wacana normatif, tetapi tidak selalu harus imperatif, karena bisa juga hipotetetis, yang membicarakan pertentangan antara yang baik dan yang buruk, yang dianggap sebagai nilai relatif.



Jadi dalam pengertian yang lebih luas etika berarti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Atau bisa juga berati “kumpulan asas atau nilai moral.”[11]



Menjawab pertanyaan di atas James J Spilane mengungkapkan bahwa etika itu mempertimbangkan tingka laku dalam pengambilan keputusan moral. Etika mengarahkan atau menghubungkan penggunaan akal budi individu dengan objektivitas untuk menentukan “kebenaran” atau “kesalahan” dan tingkah laku seseorang terhadap orang lain.Substansi dalam etika menunjuk pada orientasi kontrol atau pengawasan perilaku supaya tidak terjadi dan terhindar praktek-peraktek (perbuatan) yang mengacaukan kehidupan.[12]



Etika dalam Konteks Komunikasi


Karena etika merupakan nilai-nilai moral yang menjadi pegangan kelompok tertentu, maka dalam konteks jurnalistik, etika adalah nilai-nilai moral yang menjadi pegangan para wartawan dalam melakukan aktivitasnya sebagai wartawan. Tentu saja yang membuat etika wartawan adalah kelompok wartawan masing-masing. Dalam hal dikenal dengan Kode Etik (code of conduct). Kode etik inilah yang menjadi pegangan bagi wartawan dalam melaksanakan aktivitasnya sebagai wartawan.



Berbeda dengan hukum, sanksi terhadap pelanggaran kode etika juga bersifat moral yang diberikan berdasarkan kesepakatan masing-masing anggota kelompok. Sedangkan sanksi hukum diberikan oleh negara melalui aparat yang ditunjuk.



Kaitan Hukum dan Etika


Dimanakah kaitanya antara hukum dan etika? Bila kita telisik pada pengertiaan hukum dan etika pada penjelasan sebelumnya dapat kita tarik kesimpulan bahwa kaitan hukum dan etika terletak pada kesamaan subtansial dan orientasi terhadap kepentingan dan tata kehidupan manusia.



Paul Scholten menyebutkan baik hukum maupun moral (etika) kedua-duanya mengatur perbuatan manusia. Sedangkan Von Savigny mengatakan bahwa hukum itu harus dipandang sebagai suatu penjelmaan dari jiwa atau rohani suatu bangsa. Selalu ada suatu hubungan yang erat antara hukum dengan kepribadian suatu bangsa.






[1] Soerjono Seekamto memberikan pengertian interkasi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antar orang-orang perorangan, antar kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang-perorangan dengan kelompok manusia. Lihat Soerjono Soekanto, Sosiologi suatu Pengantar, CV Rajawali, Jakarta, 1986.


[2] Pengertian komunikasi sangat beragam dan berbeda-beda menurut ahli yang memberikannya. Pengertian diatas disimpulkan dari berbagai sumber.


[3] Soerjono Seekamto, op cit hal 78


[4] Lihat Wasis SP, Pengantar Ilmu Hukum, UMM Press, Malang 2002 halaman 5 dan seterusnya



[5] ibid


[6] ibid


[7] Ibid. Tentang tujuan hukum, masing-masing ahli hukum menerjemahkannya secara berbeda-beda. Lebih lanjut baca E. Utrecht Pengantar dalam Hukum Indonesia, Jakarta, 1966.


[8] . A.Muis, Kotroversi Sekitar kebebasan Pers, Mario Grafika, 1996.


[9] Said.. Etik Masyarakat Indonesia. 1976 hal 23


[10] Haryatmoko, Etika: Politik dan Kekuasaan, Kompas: Jakarta, 2003 hal 187


[11] K. Bertens, Etika. PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.


[12] Abdul Wahid dan Anang Sulistyono, Etika Profesi Hukum dan Nuansa Tantangan Profesi Hukum di Indonesia, Tarsito, Bandung, 1997, hal6

blog comments powered by Disqus

Posting Komentar



 

Mata Kuliah Copyright © 2009 Premium Blogger Dashboard Designed by SAER