POKOK BAHASAN
Hukum Pers dan Delik Penyiaran
Oleh: Afdal Makkuraga Putra
Hukum Pers
Salah satu hal penting dari reformasi adalah dibukanya keran kebebasan pers. Keran yang tertutup hampir sepanjang sejarah Orde Baru berkuasa. Reformasi kebebasan pers ditandai dengan beberapa rangkaian pencabutan dan pembuatan UU baru yang meregulasi bidang pers. Pertamakali diawali dengan dicabutnya Permenpen No.1/1984 tentang SIUPP oleh Menteri Penerangan saat itu, Yunus Yosfiah. Setahun kemudian disusul dengan disahkannya UU No. 40/1999 tentang Pers dan empat tahun berikutnya disusul dengan disahkannya UU No 32/2002 tentang Penyiaran. Sampai saat ini hanya UU No.8/1992 tentang Perfilman yang belum diperbaharui.
Serangkaian regulasi dalam bidang pers tersebut dalam terminologi hukum disebut sebagai hukum pers. Ada tiga hal pokok yang diatur dalam hukum pers antara lain:
1.Aturan tentang redaksional. Aturan ini mengatur tentang pembuatan berita, penulisan berita, gambar, foto, karikatur. Aturan ini lasim disebut sebagai code of publication.
2.Aturan tentang perusahaan. Aturan ini meregulasi tentang penerbitan pers termasuk di dalamnya manajemen, ekonomi dan pajak. Aturan ini lazim disebut pula code of enterprise
3.Aturan tentang profesi. Aturan ini mengatur tentang profesi pekerja media, seperti wartawan atau kewartawanan. Aturan ini lazim pula disebut sebagai code of profession
Ketiga aturan tersebut sesungguhnya saling terkait satu sama lain dan tidak bisa dipisahpisahkan Kalau kita perhatikan UU Pers No. 40/1999 misalnya, sejak dari pasal 1 hingga pasal terakhir mencerminkan ketika hal pokok tersebut di atas. Pola yang sama juga diikuti UU Perfilman. Di sana diatur bukan saja unsur perusahaan perfilman tetapi juga disinggung unsur-unsur profesi antara lain, atris, sutradara dan produser.
Delik Pers
Sebelum kita membahas lebih jauh tentang delik pers terlebih dahulu kita akan membahas tentang delik. Delik pengertian umumnya adalah perbuatan pidana atau perbuatan melanggar undang-undang/peraturan dan pelakunya di ancaman hukuman baik hukuman denda maupun kurungan. Sesuatu tindakan baru disebut sebagai delik apabila ada undang-undang atau peraturan yang dilanggar. Jadi intinya adalah segala perbuatan yang dilarang oleh UU dan pelakuknya diancam hukuman. Penjelasan lebih jauh dari sudut pandang hukum harus terlebih dahulu ada undang-undangnya atau peraturannya dan UU/peraturan itu dilanggar terbih dahulu barulah ada perbuatan pidana atau delik.
Perbuatan mengambil barang orang lain (mencuri) misalnya adalah delik pidana karena dilarang oleh Undang-undang yakni pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
“Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagaian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”
Bila tidak ada undang-undang/peraturannya berarti tidak ada delik. Hal ini dijamin dalam KUHP pasal 1 ayat 1 “tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.”
Apabila sesudah perbuatan dilakukan baru ada undang-undangnya, maka hal tersebut diberlakukan aturan yang paling menguntungkan sipelaku (terdakwa) perbuatan pidana. Hal ini diatur KUHP pasal 1 ayat 2: “Jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan”
Sebagian ahli hukum dan komunikasi berpendapat bahwa istilah delik pers sesungguhnya bukan merupakan terminologi hukum, melainkan hanya sebutan umum atau konvensi dikalangan ahli hukum dan komunikasi. Pasal-pasal yang mengatur delik ini tidaklah berdiri sendiri,melainkan bagian dari delik yang berlaku umum. Karena yang sering melakukan pelanggaran atas delik itu adalah pers, maka tindak pidana dikatakan delik pers (Dewan Pers, 2002. hal 1)
A. Muis mengatakan bahwa delik pers dapat dilihat dari dua perpektif. Perspektif komunikasi dan hukum. Dari perspektif komunikasi delik pers berarti proses penyampaian pesan antar manusia melalui pers yang dilarang oleh undang-undang dan komunikatornya diancam pidana. (A.Muis, 1999, 56)
Delik penyiaran sebenarnya juga masuk dalam kategori ini, karena media penyiaran merupakan bagian dari pers. Sedangkan dari perspektif hukum, menurut Van Hattum mengharuskan memenuhi tiga kreteria:
- Ia harus dilakukan dengan barang cetakan
- Perbuatan yang dipidanakan harus terdiri atas pernyataan pikiran atau perasaan
- Dari perumusan delik harus ternyata, bahwa publikasi merupakan suatu syarat untuk dapat menimbulkan suatu kejahatan, apakah kejahatan tersebut dilakukan dengan suatu tulisan
Maksudnya ialah delik yang penyelesaianya memerlukan publikasi dengan pers danmerupakan pernyataan pikiran atau perasaan yang diancam pidana. Dengan kata lain, pernyataan pikiran atau perasaan yang dapat dijatuhi pidana yang penyelesainnya membutuhkan publikasi dengan pers. Artinya kejahatan sudah terjadi pada saat surat kabar yang memuatnya selesai dicetak (terbit). Untuk menentukan ada tidaknya delik ketiga kriteria tersebut harus ada. Salah satu satu dari ketiga kriteria tersebut hilalng maka gugur pula sebagai delik pers.
Pengolangan Delik Pers
Delik pers dapat digolongkan dalam 5 kelompok besar yakni:
1. Delik keamanan negara
Menurut Omar Seno Adji, yang tergolong dalam delik ini adalah melanggar pasal 112 dan 112 KUHP. Pada intinya kedua pasal tersebut memidana barang siapa dengan sengaja mengumumkan surat-surat, berita-berita atau keterangan-keterangan yang diketahuinya bahwa harus dirahasiakan (untuk kepentingan negara) atau dengan sengaja memberitahukan atau memberikan kepada negara asing (pasal 112) atau mengumumkan dan seterusnya, gambar-gambar peta atau benda yang bersifat rahasia atau bersangkutan dengan kemanan dan pertahanan negara terhadap serangan dari luar (pasal 113).
Tetapi S. Tasrif, SH menambahkan bahwa tidak hanya pasal 112 dan pasal 113 tetapi juga pasal 155, 157, 207 dan 208 KUHP pasal-pasal ini lazim pula disebut sebagai delik ketertiban umum.5
2. Delik Penghinaan
Objek penghinaan menurut Seno Adji meliputi: perorangan termasuk yang telah meninggal dunia, Kepala Negara dan atau Wakilnya (pasal 134-136 bis KUHP), Kepala Negara asing yang bersahabat, Kepala perwakilan Asing yang bersahabat, terhadap pemerintah ataupun terhadap kekuasaan yang sah (lihat tulisan Menyoal Pasal-pasal Penyebar Kebencian) dan terhadap golongan (group libel 156 KUHP).
Penghinaan disini sebagaimana maksud pasal 310 KUHP adalah menuduhkan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang atau lembaga dimana penghinaan itu dilakukan secara tertulis dan dilakukan dengan menuduh melakukan hal. Sedangkan yang maksud dalam pasal 315 KUHP adalah penghinaan tanpa adanya pencemaran yang dilakukan terhadap seseorang atau lembaga. Penghinaan ini dalam terminologi hukum disebut sebagai penghinaan ringan.
Namun, bisa saja penghinaan itu tidak dikategorikan sebagai pencemaran apabila dilakukan demi untuk kepentingan umum atau karena terpaksa untuk melakukan pembelaan diri (pasal 310 ayat 3). Atau, pada saat ia diberi kesempatan oleh hakim membuktikan tuduhannya dan mampu membuktikan tuduhan tersebut.
Korban-korban pasal 310 KUHP ini banyak sekali, salah satunya adalah kasus yang menimpa Pemimpin Redaksi Warta Republik, Hoessein Madilis. Kasus ini bermula saat Madilis menulis laporan di tabloid Warta Republik yang berjudul Try Sutrisno dan Edi Sudradjat Berebut Janda di halaman cover dan Cinta Segitiga Dua Orang Jenderal disertai selembar foto seorang perempuan dan laki-laki -yang menurut Hosien adalah Nani dan Edy- di halaman 12 yang dimuat pada edisi 01/I/Minggu ke -III November 1998.
Namun pada saat persidangan Madilis tidak bisa membuktikan tuduhannya, dan ia dikenai pidana penjara selama 6 bulan. Di negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo-Saxzon delik penghinaan lazim disebut sebagai libel. Libel artinya pernyataan tertulis yang menyerang kehormatan atau reputasi seseorang. Sedang yang penghinaan secara lisan atau dengan menggunakan gerak-gerik atau tanda (gesture) disebut slander.
Menurut Fred Fedler ada tiga syarat pokok yang harus dipenuhi untuk mengkategori suatu perbuatan sehingga disebut sebagai libel.
- menyebut nama seseorang (identification)
- kata-kata yang dilontarkan bersifat fitnah, atau menyerang reputasi seseorang (defamation)
- ada unsur publikasi (publication).
Ketiga syarat tersebut mirip dengan kategori yang dikemukakan oleh Van Hattum.
3 Delik Ponografi
Pornografi dalam KUHP diatur dalam pasal 282-283, 532-533 KUHP. Memang kata yang ditemukan disana tidak secara eksplisit menyebut pornografi. Yang tertera di sana kata “melangar kesusilaan.”
Pasal 282; “barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan .....” Batasan mengenai “melanggar kesusilaan” diserahkan sepenuhnya kepada hakim untuk menterjemahkannya. Namun pengertian itu selalu ikembalikan atau didasarkan pada pandangan masyarakat setempat atau sebagian besar masyarakat suatu bangsa. Di banyak negara penentuan batasan melanggar kesilaan memang selalu dikembalikan pada hakim. Di Amerika Serikat misalnya, batasan obscene (melanggar kesusilaan), oleh Mahkamah Agung (supreme court) AS diserahkan kepada contemporary community standard atau standar masyarakat.
Hal yang sama terjadi pula di Inggris. Obscene Publicatin Act 1959 yang kemudian menjadi The obscene Publications Act 1964 juga tampaknya tidak meninggalkan pandangan masyarakat yang ada dalam menterjemahkan kata obscene. Untuk itu, hakim perlu memiliki pandangan yang arif dalam menentukan kriteria malanggar kesusilaan berdasarkan pandangan masyarakat atau sebagian besar masyarakat suatu bangsa. Tentang perlunya hakim memahami pandangan masyarakat setempat atau sebagian besar masyarakat suatu bangsa dalam menentukan batasan melanggar kesusilaan terlihat pada kasus Nono Rintiarno, Pemimpin Redaksi majalah Matra pada tahun 2002 silam.
4. Delik Agama
Delik agama sebagaimana yang maksud dalam pasal 156 dan 156a KUHP adalah memidanakan barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: (a) yang pada pokoknya bersifat bermusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut (b) dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Korban pasal ini tercatat kasus Ahmad Welson di Solo. Kasus ini bermula dari talkshow yang disiarkan langsung oleh Radio PTPN Rasitania, pada 24 Februari 2000. Acara rutin yang disiarkan secara langsung tiap Kamis pukul 21.00-22.00 WIB itu mengangkat tema: “Upaya Mengatasi Konflik Antar Umat Beragama”. Acara yang rencananya dihadiri oleh beberapa narasumber akhirnya berlangsung dengan pembicara tunggal, yaitu Ahmad Welson -seorang mantan pendeta. Dalam acara dialog interaktif itu Welson mengeluarkan pernyataan kontroversial bahwa Muhammad itu sebelum diangkat sebagai Nabi dan Rasul adalah memeluk agama Nasrani. Kontan, pernyataan tersebut menuai protes, secara langsung pada radio PTPN Rasitania maupun melalui media cetak.
Puncaknya, pada 2 Maret 2000, ratusan orang yang tergabung dalam Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS) mendemo Radio Rasitania. FPIS menuntut PTPN meminta maaf kepada masyarakat lewat siarannya, ataupun media cetak yang ada di Jawa Tengah selama tujuh hari berturut-turut. Tak cukup sampai di situ, melalui pengacara Mohammad Taufik dari LBH Nurani, FPIS melaporkan Wilson, Zarkoni alias Jeffri Ohio (penyiar) dan pimpinan PTPN Budiyono ke kepolisian dengan alasan pernyataan Welson dalam dialog intersktif tersebut dianggap berpotensi menimbulkan konflik SARA. Welson pun diajukan ke pengadilan. 3 Juli 2000 Pengadilan Negeri Surakarta menjatuhkan hukuman 5 tahun penjara pada Achmad Welson. Pengadilan mendakwa Welson berdasarkan pasal 156a KUHP.
5. Delik Khabar Bohong (Penghasutan)
Delik khabar bohong diatur dalam pasal 14 dan 15 UU No. 1 tahun 1946. Inti pasal 14: memidanakan penyiaran kabar bohong, dengan sengaja menimbulkan keonaran di kalangan rakyat, penyiaran berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong. Sedangakan pasal 15: menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran. Menurut buku yang berjudul Delik Pers dalam Hukum Pidana yang diterbitkan oleh Dewan Pers dan Lembaga Informasi Nasional, 2002, yang dimaksud dengan “menyiarkan berita atau kabar dalam dua pasal diatas sesungguhnya tidak secara khusus ditujukan kepada pers atau wartawan melainkan berlaku untuk siapa saja. Meskipun demikian, dalam prakteknya pers sering menjadi korban penerapan pasal ini. Salah satu contoh kasus tuntutan atas “penyebaran kabar bohong” yang pernah diajukan ke pengadilan adalah yang menimpa harian Berita Buana pada tahun 1989. Redaktur Pelasana harian tersebut oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dijatuhi hukuman satu setengah tahun penjara (November 1989) karena dinilai telah menyiarkan kabar bohong mengenai makanan kaleng yang mengandung lemak babi.
Sifat Delik Pers
Terdapat dua jenis delik pers.
1. Delik Aduan.
Delik aduan artinya tidak ada suatu perkara kalau tidak ada yang mengadu. Dengan kata lain, hanya akan ada kasus atau perkara yang diakibatkan adanya pemberitaan pers, kalau pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers tersebut mengadu kepada pihak yang berwajib. Pihak penyidik (polisi atau jaksa) tidak bisa melakukan inisiatif penyidikan tanpa adanya aduan dari seseorang atau lembaga. Sekalipun ia mengetahui terjadinya pelanggaran. Yang tergolong sebagai delik aduan adalah: pasal 310, 311, 315, 316, 317, 320 dan 321 KUHP.
2. Delik Biasa
Delik biasa artinya tidap perlu ada pengaduan. Bila aparat berwajib mengetahui terjadi pelanggaran/kejahatan maka mereka berinisiatif melakukan mengusutan. Pasal-pasal yang terkait dengan delik biasa adalah pasal 112,113 134, 137, 142, 143, 144, 154, 155, 156, 157, 156a, 160, 161, 162, 163 207, 208, 282, 532 dan 533.
KINI “PASAL KARET” ITU TELAH TIADA
Makamah Konstitusi telah menghapus pasal 154 dan 155 KUHP. Kebebasan berekspresi dan beropini kini makin terjamin
Sumringah di wajah Panji Utomo segera membumcah, pertengahan Juli lalu. Ia tak kuasa menyembunyikan kegembiraannya saat mengetahui Mahkamah Konstitusi menghapus pasal 154 dan 155 KUHP. Pasal itulah yang mendera Direktur Forum Komunikasi Antar Barak (FORAK) ini sehingga terkena vonis tiga bulan penjara di Banda Aceh. Pasal yang sering disebut pasal karet ini menjadi memok para pekerja media dan sejumlah aktivis yang kerap mengkritisi pemerintah.
Panji Utomo yang juga berprofesi dokter ini dituduh memicu bentrokan saat terjadi demo di depan kantor Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi di Aceh di tahun 2006. Akibatnya, Panji didakwa mengeluarkan pernyataan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap Pemerintah.
Panji pulalah yang mengajukan ke MK agar pasal tersebut dilenyapkan dalam KUHP. Alasannya, ia merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya pasal tersebut karena dalam aksi itu sebenarnya ia mewakili kepentingan para pengungsi korban tsunami yang menuntut hak-haknya.
Selain itu ia beranggapan pasal-pasal itu sudah tidak sesuai lagi dengan iklim demokrasi yang tengah berjalan di Indonesia saat ini. Sehingga keberadaan pasal tersebut dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal 154 KUHP berbunyi:
“Barangsiapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan terhadap Pemerintah Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”;
Pasal 155 KUHP berbunyi:
(1) “Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan dimuka umum yang mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan terhadap Pemerintah Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
(2) “Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan pencaharian dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak pemidanaannya menjadi tetap karena melakukan kejahatan semacam itu juga, yang bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencaharian tersebut”.
MK, dalam pertimbangan hukumnya menjelaskan bahwa kualifikasi delik atau tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 154 dan 155 KUHP adalah delik formil yang cukup hanya mempersyaratkan terpenuhinya unsur adanya perbuatan yang dilarang (strafbare handeling) tanpa mengaitkan dengan akibat dari suatu perbuatan. Akibatnya, rumusan kedua pasal pidana tersebut menimbulkan kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan karena secara mudah dapat ditafsirkan menurut selera penguasa.
Menurut MK, seorang warga negara yang bermaksud menyampaikan kritik atau pendapat terhadap Pemerintah, di mana hal itu merupakan hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945, akan dengan mudah dikualifikasikan oleh penguasa sebagai pernyataan “perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan” terhadap Pemerintah sebagai akibat dari tidak adanya kepastian kriteria dalam rumusan Pasal 154 maupun 155 KUHP tersebut untuk membedakan kritik atau pernyataan pendapat dengan perasaan permusuhan, kebencian, ataupun penghinaan. Karena penuntut umum tidak perlu membuktikan apakah pernyataan atau pendapat yang disampaikan oleh seseorang itu benar-benar telah menimbulkan akibat berupa tersebar atau bangkitnya kebencian atau permusuhan di kalangan khalayak ramai.
MK juga menjelaskan bahwa Pasal 154 dan 155 KUHP dapat dikatakan tidak rasional, karena seorang warga negara dari sebuah negara merdeka dan berdaulat tidak mungkin memusuhi negara dan pemerintahannya sendiri yang merdeka dan berdaulat, kecuali dalam hal makar. Namun, ketentuan tentang makar sudah diatur tersendiri dalam pasal lain dan bukan dalam Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP.
Dalam Wetboek van Strafrecht Belanda sendiri, yang merupakan sumber dari KUHP, tidak terdapat ketentuan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 154 dan 155 KUHP. Bahkan, pada saat munculnya ide untuk memasukkan ketentuan demikian ke dalam KUHP Belanda pada abad ke-19, Menteri Kehakiman Belanda ketika itu secara terang-terangan menyatakan penolakan terhadap usul demikian dengan mengatakan, “De ondergeteekende zou deze bepalingen, welke op zichzelf te verklaren zijn door de behoefte van een koloniale samenleving, zeker niet voor het Rijk in Europa willen overnemen” (Peraturan di bawah ini, dengan sendirinya dinyatakan hanya berlaku bagi kebutuhan masyarakat kolonial, jelas tidak diperuntukkan bagi negara-negara di Eropa).
Sejarah menunjukkan bahwa ketentuan dalam Pasal 154 dan 155 KUHP tersebut diadopsi oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dari Pasal 124a British Indian Penal Code Tahun 1915 yang di India sendiri sudah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Indian Supreme Court dan East Punjab High Court karena dinilai bertentangan dengan Pasal 19 Konstitusi India tentang kebebasan untuk memiliki dan menyatakan pendapat.
Sementara di Belanda sendiri, ketentuan demikian juga dipandang tidak demokratis karena bertentangan dengan gagasan freedom of expression and opinion, sehingga hanya dapat diberi toleransi untuk diberlakukan di daerah jajahan, in casu Hindia Belanda. Dengan demikian, nyatalah bahwa ketentuan Pasal 154 dan 155 KUHP, menurut sejarahnya, memang dimaksudkan untuk menjerat tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan di Hindia Belanda (Indonesia), sehingga telah nyata pula bahwa kedua ketentuan tersebut bertentangan dengan kedudukan Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat.
Panji tak sendirian menjadi korban pasal ini. Terdapat sejumlah korban pasal-pasal ’karet’ tersebut. Dalam pemerintahan Orde Lama, kasus yang paling menonjol adalah kasus pidana yang menimpa Goei Poo An Pemimpin Redaksi harian Trompet Masjarakat, Surabaya pada bulan April 1957. Poo An dipidana sebulan penjara dengan tuduhan melakukan penghinaan terhadap pemerintah melalui tulisan-tulisannya di harian Trompet Masjarakat.
Selama Orde Baru pasal-pasal haatzai artikelen jarang dipakai, karena Pemerintah Orde Baru lebih memilih membrangus suatu penerbitan jika dinilai membahayakan pemerintah ketimbang membawanya ke pengadilan.
Namun demikian selama pemerintahan Orde Baru tercatat sejumlah kasus, di antaranya kasus Tengku D Hafas, Pemimpin Redaksi harian Nusantara tahun 1971. TD Hafas dijatuhi hukuman satu tahun penjara dengan tuduhan harian Nusantara memuat sejumlah tulisan dalam tajuk rencananya dan rubrik "Tahan Ora" yang memuat gambar dan karikatur yang dinilai menghina kekuasaan yang sah serta menghasut supaya timbul rasa permusuhan dan kebencian dalam masyarakat terhadap pemerintah.
Tetapi yang paling fenomenal adalah kasus yang menimpa tiga aktivis Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada tahun 1995, yakni: Ahmad Taufik, Eko Maryadi dan Danang Kukuh Wardoyo. AJI yang saat itu dianggap sebagai organisasi terlarang menerbitkan majalah Independen yang isinya mengkritik kebijakan pemerintahan Orde Baru yang otitarian. Ahmad Taufik, Eko Maryadi dan Danang Kukuh Wardoyo dipenjara dengan tuduhan menyebarkan kebencian terhadap pemerintahan Soeharto dengan melanggar pasal 154 KUHP.
Keputusan MK ini patut diberi dipuji, sebab dalam dua tahun terakhir ini MK telah menghapus lima pasal yang tergolong dalam haatzai artikelen. Sebelumnya MK menghapus pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP. Pasal ini tak kalah seramnya dengan pasal 154 dan 155 KUHP , karena ini masuk sebagai penghinaan terhadap Presiden.
Meskipun MK telah mengahapus lima pasal tersebut, tetapi sesungguhnya masih terdapat sejumlah pasal dalam KUHP (yang tergabung dalam kelompok haatzai artikelen ) bisa mengancam kebebasan berekspresi dan beropini. Pasal-pasal tersebut diantaranya: 156, 157 dan 207 dan 208 KUHP.
Kita berharap MK segera menghilankan pasal-pasal tersebut dari KUHP, agar kebebasan berkespresi dan beropini makin terjamin. (Afdal Makkuraga Putra, dikutip dari Jurnal Media Watch The Habibie Ceter, September 2007)