Jumat, 21 Agustus 2009

Hukum dan Kebebasan Media Penyiaran










HUKUM DAN ETIKA PENYIARAN



Pokok Bahasan


Hukum dan Kebebasan Media Penyiaran


Oleh: Afdal Makkuraga Putra



Demokrasi adalah pembatasan hak agar tidak melanggar hak orang lain (Yuwono Sudarsono)


Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksankan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia (UU Pers. No. 40/1999)


Makna Kebebasan Pers


Dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi, kebebasan pers adalah sebuah keniscayaan. Isntitusi pers tidak akan bekerja sempurna sesuai kodratnya tanpa jaminan kebebasan. Oleh karena itu kebebasan pers disebut hak asasi manusia yang paling hakiki. Lazim pula dijadikan sebagai barometer demokrasi.


Kebebasan pers pertama kali dipelopori oleh John Milton pada abad ke 17. Dalam sebuah pidatonya yang berjudul Aeropagitica ia berucap “a speech for unlicenced printing.” Ucapan filusof berkebangsaan Inggris itu menandai permulaan lahirnya gerakan anti sensor sebagai tindakan preventif terhadap publikasi.


Perjuangan Milton baru diakui dunia internasional dua abad kemudian, semenjak dideklarasikannya piagam Universal Hak Azasi Manusia oleh PBB pada tanggal 28 Desember 1948. Jaminan kebebasan itu tercatat dalam pasal 19 yang berbunyi: “Everyone has the right to freedom of opinion and expression: this right includes freedom to hold opinion without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers.”


(Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima, menyampaikan keterangan-keterangan, pendapat dengan cara apapun serta dengan tidak memandang batas-batas.)


Hal tersebut dinilai masih kurang lengkap. PBB kemudian menyetujui lagi kovenan internasional tentang Hak Sipil dan Politik (internasional kovenant of sipil and political right). Kebebasan pers lagi-lagi dimaksukkan sebagai hal yang harus dijamin. Pasal 19 kovenan itu berbunyi:


1. Everyone shall have the right to hold opinions without interference


2. Everyone shall have the right to freedom of expression: this right shall include freedom to seek, receive, and impart information an ideas of all kinds, regardless of frontiers of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other media of his choice


3. the exercise of the rights provide for in paragraph 2 on this article carries with it special duties and responsibilities. It may therefore be subject to certain restriction, but these shall only be such as are provide by law and are necessary;


(a) for respect of the right or reputation of others


(b) for the protection of national security or public order or public health or morals.


(1. setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa dipengaruhi orang lain


(2. Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatkan pendapat, hak ini termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.


(3. Pelaksanaan hak-hak yang tercantum dalam ayat 2 pasal ini menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus, oleh karenanya dapat dikenai pembatasan tertentu, tetapi hal ini dapat dilakukan sesuai dengan hukum, sepanjang diperlukan untuk:


a. Menghormati hak atau nama baik orang lain


b. Melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan atau moral umum.)


Indonesia yang menerapkan sistem demokrasi dalam kehidupan bernegara telah jaminan keberlangsungan kebebasan pers tersebut. Jaminan itu tertuang dalam konstitusi UUD 1945 pasal 28 F yang menyatakan “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”


Hal tersebut diperkuat lagi dalam UU Hak Asasi Manusia No. 39/1999 dalam pasal 23 ayat 2 “setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebarkan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan atau tulisan melalui media cetak maupun media elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum , dan keutuhan bangsa.”


Lalu dipertegas dalam UU Pers No. 40/1999, “kebebasan pers adalah hak asasi warga negara,” dan setiap usaha yang menghalangi tegaknya kebebasan pers dipidana dua tahun penjara atau denda Rp 500 Juta.


Dengan banyaknya jaminan tersebut diatas, sesungguhnya tidak ada lagi alasan untuk tidak menjalankan kebebasan pers di tanah air. Kini bangsa Indonesia berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang telah terlebih dahulu menerapkan prinsip-prinsip kebebasan pers.


Makna kebebasan pers sesungguhnya ialah larangan sensor pendahuluan/preventif (prior restraining) terhadap pemberitaan-pemberitaan dalam pers. Yang dimaksud sensor di sini adalah:


1. Penghapusan secara paksa sebagian atau seluruh materi informasi yang diterbitkan atau disiarkan,


2. tindakan teguran atau peringatan yang bersifat mengancam dari pihak manapun,


3. dan atau kewajiban melapor, serta memperoleh izin dari pihak berwajib, dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistik.


Namun kebebasan pers tidaklah bersifat mutlak, dalam konsep hak asasi manusia kebebasan pers dikategorikan sebagai derogated right atau hak yang dapat diabaikan/ dibatasi. Pengabaian terhadap kebebasan pers dapat dilaksaksankan apabila terjadi keadaan darurat yang bersifat memaksa dan luar biasa, misalanya: bencana alam, kekacauan negara dan darurat militer, dl


Namun perlu diingat, sesuai dengan pasal 19 ICCPR, pembatasan itu harus dinyatakan dalam UU/peraturan, diberi batasan mana yang harus dibatasi dan memiliki jangka waktu tertentu. Apabila kondisi kembali normal maka kebebasan pers secara penuh harus diberlakukan kembali.


Tetapi, sebaliknya pembatasan-pembatasan yang bersifat represif berupa delik-delik pidana yang mengandung delik pers (pencemaran nama baik, delik agama, kabar bohong dll) dipandang sah dan konstitusional. Pembatasan demikian diakui oleh hukum internasional.


Makna Kebebasan Bagi Media Penyiaran


Kebebasan pers sesungguhnya tidak memilah-milah antara media cetak dan elektronik (penyiaran) sepanjang medium tersebut melaksanakan kegiatan pers (jurnalistik) maka jaminan kebebasan tetap melindunginya.


Namun dalam kenyatannya tidak semua media penyiaran melaksanakan tugas jurnalistik. Bahkan kegiatan jurnalistik hanya sebagian kecil saja dari aneka ragam program media penyiaran.


Maka sesuai dengan semangat ICCPR pasal 19 ayat 3 (melindungi hak orang lain, moral, keamanan dan ketertiban), media penyiaran yang menyiarkan program di luar kegiatan jurnalistik terbuka untuk disensor. Namun sekali lagi, sensor (pembatasan) harus melalui persetujuan undang-undang/hukum.


Di Indonesia berdasarkan UU No. 8/1992 tentang perfilman, semua yang akan ditayangkan atau dipertujukkan -kecuali produk jurnalistik -- wajib lulus sensor. Yang ditunjuk sebagai lembaga sensor adalah lembaga sensor film.


“Pembatasan” terhadap media penyiaran akan lebih terasa urgen lagi bila kita kaitkan dengan penggunaan frekuensi yang mana frekuensi pada hakekatnya adalah milik publik yang jumlahnya terbatas. Karena hakekatnya frekuensi adalah milik publik, maka publik juga harus terlibat dalam pengaturan frekuensi tersebut melalui lembaga-lembaga resmi yang diakui mewakili kepentingan publik.


Akhirnya kita sampai pada satu kesimpulan bahwa kebebasan pers tidaklah bersifat mutlak sebagaimana yang tertulis dalam ICCPR. Dalam rangka melindungi nilai-nilai moral, kesehatan, kemanan dan ketertiban umum, kebebasan pers “dapat” dibatasi dan pembatasan itu harus dilakukan berdasarkan UU/peraturan dan harus dalam keadaaan darurat dan luarbiasa.


Pembatasan terhadap kebebasan ini sudah terjadi di Indonesia sejak ditetapkannya Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dalam status Darurat Militer. Melalui Kepres Nomor. 43 TAHUN 2003 pemerintah melalui menteri luar negeri menyeleksi wartawang asing maupun koresponden media asing yang ingin masuk ke Aceh melakukan kegiatan jurnalistik. Sementara wartawan nasional harus mendapat izin dari penguasa darurat militer daerah yang dalam hal ini adalah Pangdam Iskandar Muda.


Tiga Aspek Kebebasan Media Penyiaran


Kebebasan berpendapat dan kebebasan pers sesungguhnya tidak berbeda pada semua media.


Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam mendsikusikan kebebasn media penyiaran:


1. bahwa rumusan sederhana mengenai kemerdekaan berpendapat pada banyak undang-undang dasar memastikan bahwa konflik interpretasi mengenai kemerdekaan ini akan terjadi di negara manapun harus dipecahkan melalui peraturan yang lebih rendah atau keputusan pengadilan. Undang-undang Dasar kita bahkan tidak secara tegas menjamin hak ini dan hanya menyatakan akan mengaturnya melalui undang-undang.


2. Bahwa konsep kemerdekaan bersuara tidak dapat diterapkan pada segala aspek media. Ada masalah-masalah dalam pers yang tidak berhubungan langusng dengan kemedekaan informasi. Mahkamah Agung Amerika Serikat, misalnya, banyak menolak permintaan banding dari perusahaan media dengan alasan bahwa kasusnya tidak secara langsung menghalangi kemerdekaan pers, tetapi juga berhubungan dengan masalah perusahaan dan perburuhan yang bisa diatur oleh hukum umum.


3. Walaupun jaminan kemerdekaan berpendapat dan penyelenggaraan pers barlaku untuk untuk media penyiaran, ada aspek lainnya dari isi media siaran, yaitu pengunaan ruang pubik (frekuensi) yang tidak berhubungan langsung dengan penerapan hak asasi ini. Di Amerika Serikat hal ini berakibat, berbeda dari pers cetak, media siaran dibatasi melalui beberapa peraturan komunikasi (communication act) yang dibuat oleh Kongres dan dijalankan oleh Federal Communication Commission (FCC)


Kebebasan pers sebenarnya bukan hanya bebas dari kekangan negara, tetapi juga bebas dari kekuatan ekonomi dan pasar. Gejala-gelaga dominasi pasar atas kebebasan pes sudah mulai tumbuh. Prof. James Carey dari Columbia University sudah mensinyalir bahwa kebebasan dari kekangan negara justru menyebabkan leluasanya kebebasan pasar untuk mengendalikan kebebasan pers itu sendiri.



Oleh karena itu esensi kebebasan adalah terlindungi kepentingan publik dari dua kekuatan, yakni kekuatan negara dan ekonomi/pasar. Sudah menjadi keniscayaan bahwa setiap kebebasan pasti memerlukan tanggung jawab. Demikian juga dengan kebebasan pers (media). Menurut Dennis McQuail, tanggung jawab media adalah segala proses baik sukarela maupun terpaksa dimana media menjawab secara secara langsung atau tidak langsung pada lingkungan masyarakatnya kualitas dan atau konsekuensi dari publikasi yang dimuatnya (McQuail, 2005).



Oleh karena itu, proses pertanggungjawaban meliputi tiga kriteria (McQuail, 2005):


1. Media harus menghormati hak kebebasan untuk mempublikasikan sesuatu


2. Media harus melindungi atau membatasi bahaya yang mengkin timbul dari publikasi terhadap individu dan masyarakat


3. Media harus lebih memajukan aspek-aspek positif dari publikasi daripada hanya membatasinya



Dari ketiga kriteria tersebut, kriteria pertama merefleksikan sifat dasar dari kebebasan berekspresi dalam sistem demokrasi, sedangkan yang kedua, adanya kewajiban terhadap masyarakat di satu sisi dan kewajiban terhadap hak, kebutuhan dan kepentingan individu di sisi lain. Adapun kreteria ketiga menekankan pada dialog dan interaksi antara media dan institusi lain dalam masyarakat.



Karena banyak jenis pertanggungjawaban, maka McQuail menyusun kerangka pertanggungjawaban (frame of accountability). Kerangka pertanggung jawaban menurut McQuail adalah sebuah kerangka rujukan dimana perilaku media yang diharapkan, tanggungjawab dari perilaku media dan tuntutan dinyatakan. Atau juga bermakna: menyatakan atau menenutkan cara mana suatu tuntutan sebaiknya diselesaikan.



McQuail yang mengutip Dennis menguraikan terdapat empat kerangka pertanggungjawaban: Law and Regulation, financial/market, public responsibility dan Professional responsibility.


(1) Kerangka hukum dan regulasi (law and regulation).


Kerangka ini merujuk pada segala regulasi-regulasi, hukum-hukum dan kebijakan publik yang berpengaruh pada operasional dan struktur media. Tujuan utama dari kerangka ini adalah untuk menciptakan dan menjaga kondisi kebebasan media dan perluasan komunikasi antar masyarakat dan meningkatkan kualitas publik dan juga membatasi kemungkinan potensi bahaya pada legitimasi pribadi dan kepentingan publik



Mekanisme dan prosedur utama dari kerangka ini, yakni berisi kumpulan regulasi-regulasi tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh media termasuk peraturan-peraturan formal dan prosedur-prosedur pelengkap untuk pengimlementasian setiap regulasi tersebut. Isu-isu utama yang berkaitan dengan kerangka ini biasanya pelanggaran terhadap hak-hak individu atau hal lainnya dimana media, khususnya (media elektronik) dapat diregulasi.



Keuntungan dari pendekatan ini, yakni, bahwa terdapat kekuasaan yang besar untuk memaksa tuntutan-tuntutan. Ada pula kontrol demokratis melalui mekanisme sistem politik, kurang lebihnya bermakna sebagai chek terhadap tekanan dan pelanggaran. Di sini setiap pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan dan juga bidang setiap regulasi dengan jelas dibangun.



Kerugiannya adalah pembatasan paling tidak merugikan media. Intinya, karena memungkinkan terjadi konflik antara tujuan perlindungan kebebasan itu dengan membuat media bertanggung jawab. Salah satu yang dikhawatirkan, misalnya hukuman seperti kewajiban sensor, meskipun ini tidak dilegitimasi.



Hukum dan regulasi lebih mudah diterapkan pada struktur (kepemilikan) dari pada isi media, dimana kebebasan berekspresi timbul, namun disitu pula sulit dibuat defenisinya. Hukum dan regulasi lebih memberikan keuntungan terhadap kekuasaan dan uang, meskipun hukum dan regulasi bermaksud melindungi kepentingan secara keseluruhan. Hukum dan regulasi juga kadang-kadang kurang efektif, susah ditegakkan, tidak bisa diprediski luas jangkauannya dan efek jangka panjangnya serta susah diubah dan diganti walaupun sudah ketinggalan jaman. Bila demikian hukum dan regulasi akan tetap menjadi bagian dari sistem dan dapat digunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu oleh segelintir orang (misalnya subsidi dan hukum).


Contoh regulasi dan undang-undang yang mengatur struktur dan organisasi media adalah UU Penyiaran, UU Pers dan UU Perfilman. Ketiga UU tersebut menjamin kebebasan media dalam menyampaikan pesan-pesan kepada publik. Meskpun demikian, segenap UU tersebut juga tetap membatasi kebebasan media guna melindungi kepentingan publik, misalnya larangan tayangan pornografi di media TV dan koran, klasifikasi siaran, perlindungan terhadap anak-anak dan remaja, dsb.



Sedangkan kondisi hukum dan regulasi juga kadang-kadang kurang efektif, susah ditegakkan, tidak bisa diprediski luas jangkauannya dan efek jangka panjangnya serta susah diubah dan diganti walaupun sudah ketinggalan jaman, bisa dilihat pada kasusnya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Undang-undang tersebut adalah warisan peninggalan kolonial Belada, sejumlah pasal-pasal dalam UU tersebut nyata-nyata mengancam kebebasan berekspresi, misalnya pasal-pasal tetang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, Penyebar Kebencian (haatzai artikelen), Delik Keamanan Negara dan lain sebagainya. Namun KUHP tersebut sampai sekarang masih digunakan, karena DPR dan Prisiden belum menyetujui RUU KUHP yang baru.



(2) Kerangka Pasar


Akuntabilitas media dilihat dari kerangka pasar adalah dilihat dari mekanisme permintaan dan penawaran dalam sebuah pasar. Berbagai penelitian pasar dan khlayak membuktikan bahwa ukuran diterimanya media oleh masyarakat dilihat dari penambahan penjulan media tersebut.



Kerangka pasar melihat bahwa kualitas (quality) media merupakan suatu kemutlakan. Kualitas disini bukan hanya pada isi (content) tetapi juga terhadap teknik. Salah satu cara untuk melakukan perbaikan adalah melalui iklim kompetisi. Tidak ada tekanan yang mengontrol kekuatan pasar, ini adalah satu keuntungan dari pendekatan ini. Hukum permintaan dan penawaran hendaknya memastikan bahwa kepentingan antara media dan khalayak tetap terjamin seimbang. Sistem pasar memiliki aturan sendiri (self regulatory) dan koreksi sendiri (self control) dan tidak membutuhkan regulasi dan kontrol dari luar.



(3) Kerangka Tanggung Jawab Publik


Kerangka ini merujuk bahwa media massa juga bagian dari institusi sosial oleh karena itu media massa mengemban tugas dan tanggung jawab penting dari publik, jauh di atas tugasnya untuk misalnya menghasilkan menghasilkan keuntungan. Model ini menurut Denis disebut Fiduciary, yakni media mendapatkan kepercayaan atas nama publik.



Mekanisme dan prosedur utama kerangka ini terdiri dari aktivitas kelompok-kelompok penekan, termasuk organisasi khlayak media dan survey opini public, meminta media massa agar mengekspresikan kepentingan publik.



Di sejumlah negara terdapat berbagai bentuk dewan pers atau komisi penyiaran yang melayani kompalin/keluhan yang datang dari public. Nah media massa diharapkan mengikuti metode ini, dengan membuat semacam divisi yang menerima pengaduan dari masyarakat. Pemerintah juga senantiasa memiliki komisi dan institute untuk menilai kinerja media. Sejumlah media dioperasikan atas nama kepercayaan public (public trusts) yang tidak berorientasi profit (non profit) untuk melayani informasi public atau tujuan sosial lainnya



Ide utama dari kerangka ini adalah masyarakat dapat mengontrol informasi yang disampaikan oleh media sehingga tercipta hubungan yang interaktif antara media dan publik. Di Indonesia, saat ini terdapat sejumlah pemantau-pemantau media yang senantiasa mengontrol pemberitaan media agar senantiasa melindungi kepentingan publik. Salah satunya adalah Lembaga Konsumen Media, Surabaya dan Media Watch The Habibie Center yang berbasis di Jakarta.



Disamping itu, sejumlah surat kabar saat ini juga sudah mulai mengadopsi ombudsman media. Ombudsman adalah sebuah lembaga yang dibentuk oleh media untuk menerima dan melayani keluhan dan komplain dari masyarakat yang dirugikan oleh pemberitaan pers. Surat kabar di Indonesia yang sudah menggunakan ombusdsman media diantaranya Jawa Pos dan Kompas



(4) Kerangka Tanggung Jawab Profesional


Kerangka ini merujuk pada tanggung jawab yang muncul dari pengembangan etika profesi atau lasim disebut kode etik (code of conduct) yang ada di lingkungan institusi media (misalnya, kode etik jurnalistik, priklanan dan public relations). Kode etik itu disusun untuk menjadi pegangan bagi professional yang bekerja di media agar bekerja sesuai dengan standar yang ditentukan. Mekanisme dan prosedur kerangka ini biasanya dilakukan oleh penerbit yang menyusun prinsip-prinsip atau kode etik yang diikuti oleh anggota kelompok professional media. Selain kode etik tersebut terdapat pula prosedur-prosedur yang biasa digunakan bila media media menerima komplain atau klaim-klaim berkaitan dengan pemberitaan media.



Isu-isu yang biasanya berhubungan dengan kode etik atau code of conduct ini, yakni berkaitan dengan misalnya “menyerang kehormatan seseorang” dan lain sebagainya. Pengembangan profesionalisme di media biasanya didukung oleh pemerintah, intitusi publik lainnya melalui pelatihan dan pendidikan. Di Indonesia, terdapat sejumlah kode etik yang ada di lingkungan institusi media. Misalnya, untuk jurnalis terdapat Kode Etik Jurnalistik (KEJ). KEJ disusun oleh asosiasi para jurnalis yang kemudian disahkan oleh Dewan Pers. Di televisi, ada yang disebut Pedoman Program Siaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS). P3 dan SPS disusun oleh Komisi Penyiara Indonesia (KPI)

blog comments powered by Disqus

Posting Komentar



 

Mata Kuliah Copyright © 2009 Premium Blogger Dashboard Designed by SAER