MODUL 2
PERBANDINGAN WAWANCARA TV DAN MEDIA CETAK
Oleh : Sainuddin, S.Sos
A. PERBEDAAN ORIENTASI DAN PRINSIP MEDIA CETAK DAN TELEVISI
Dalam prinsip jurnalistik yang diterapkan, secara garis besar sebenarnya tidak ada perbedaan. Kriteria layak berita di suratkabar dan di media televisi, relatif juga sama. Hanya, di media televisi ada penekanan lebih besar pada aspek visual (gambar). Hal yang bisa dipahami, karena televisi adalah media audio-visual.
Di media cetak, dapat bekerja dan menulis sendiri berita atau artikel dengan byline, mencantumkan nama sendiri di tulisan tersebut. Meskipun setiap tulisan yang dimuat itu sudah melalui proses penyuntingan oleh orang lain, baik dari segi bahasa ataupun content. Sedangkan di media televisi, tampil secara individual itu sulit dilakukan, karena semua paket berita ataupun tayangan benar-benar dikerjakan secara kolektif. Untuk liputan berita pun minimal sudah harus dikerjakan berpasangan, oleh seorang reporter dengan seorang camera person. Walaupun, bisa juga dilakukan seorang diri sebagai VJ (video journalist).
Namun, menjadi VJ jelas merupakan tugas berat yang merepotkan. Peran VJ ini biasanya lebih banyak dilakukan untuk menyiasati kekurangan tenaga camera person. Jadi, reporter diharapkan juga bisa memegang kamera. Belum lagi menyebut, hasil liputan ini harus diedit oleh seorang editor, yang ditugasi khusus untuk itu. Peran seorang editor sangat penting, karena hasil liputan yang bagus pun bisa jadi berantakan, jika dikerjakan oleh editor yang buruk.
Perbedaan yang lain, di media suratkabar, kemajuan (baca: peningkatan tiras atau sirkulasi, serta pemasukan iklan) suratkabar itu tidak mudah didistribusikan pada peran individu atau rubrik tertentu
Kelebihan dan kerugian
Untungnya, kinerja setiap producer atau jurnalis di media TV sangat transparan. Setiap orang bisa menilai, karena ada ukuran kinerja yang jelas, yaiturating dan share setiap program. Ini memberi tuntutan pada setiap producer dan crew program yang dipimpinnya, untuk mempertahankan atau meningkatkan kinerja.
Walaupun, bisa saja didebat bahwa angka rating dan share itu tidak identik dengan kualitas program. Namun, dalam iklim industri media televisi sekarang, bottom line-nya memang bukan pada kualitas program, tetapi pada keuntungan dari pemasukan iklan. Suka atau tidak, itu kenyataannya.
Peran Media Cetak dan Media Televisi
Dalam hubungannya untuk memperluas wawasan dan menyebarluaskan informasi media massa cetak dan elektronik kurang lebih memiliki peran yang hampir sama.
Yang berbeda adalah logika penyajiannya serta beberapa kekurangan dan kelebihannya dalam menyampaikan pesan kepada audiens. Ada banyak pembeda yang telah dipelajari dan ditemukan para akademisi komunikasi antara media cetak dan media elektronik sebenarnya.
Kelebihan dan kekurangan media cetak terhadap media elektronik.
1. Permanence, artinya media cetak dapat didokumentasikan, sehingga dapat disimpan untuk waktu yang lebih lama. Anda mungkin hendak mengkliping beberapa artikel koran yang penting bagi diri anda untuk kemudian diperlihatkan kepada kerabat keluarga atau teman - teman anda. Sehingga satu buah koran dapat diasumsikan dibaca lebih dari satu orang.
2. Depth, media cetak dapat menyajikan lebih banyak data karena wujudnya cetak sehingga memiliki potensi kedalaman pembahasan yang lebih tinggi dibanding media elektronik.
3. Openness, dari semua media massa, media massa cetak adalah media yang paling terbuka kepada pembacanya. Pembaca atau orang awam diperbolehkan mengirim surat pembaca atau mengirimkan sendiri artikel karangan mereka. Keterbukaan untuk mengutarakan keluhan kepada sesuatu pihak, tempat atau suatu hal baik institusi swasta maupun pemerintah didapat pembaca melalui surat pembaca. Sedangkan keterbukaan untuk mengajukan suatu pandangan, pemikiran terhadap suatu isu atau wacana juga bisa didapat pembaca melalui kolom artikel yang disediakan oleh media tersebut.
4. Disamping beberapa kelebihannya media cetak juga memiliki beberapa kekurangan dibanding media elektronik. Salah satunya adalah Speed , dalam hal kecepatan media cetak masih kalah dibanding media elektronik.
5. Exposure, media cetak memiliki besaran audiens yang jumlahnya relatif lebih kecil dibanding media elektronik.
6. Frequency, kekurangan media cetak dalam menyajikan informasi dibanding media elektronik adalah frekuensinya atau pengulangan terhadap suatu isu atau informasi. Media televisi atau radio dapat melakukan pengulangan berkali- kali dalam suatu hari mengenai suatu peristiwa penting. Sedangkan media cetak hanya dapat terbit satu kali sehari saja, paling banyak.
Tentunya yang dimaksud media cetak disini adalah media massa yang dalam wujudnya adalah cetak ( print media ). Definisikan kembali definisi media cetak sebagai media massa yang terbit secara periodik; satu hari, minggu, dwi mingguan, bulanan dan seterusnya. Sedikit banyaknya memiliki proses jurnalistik atau pengumpulan dan penyajian informasi kepada audiensnya. Dan media yang menerima pemasukan iklan secara massive di halamannya. Media ceta antara lain: harian surat kabar, tabloid dan majalah.
Seorang script writer, bisa jadi menulis merupakan sebuah kebutuhan. Karena boleh jadi hal tersebut merupakan tuangan aktualisasi diri. Menulis untuk program televisi, Tak menuntut pakem yang baku memang, tetapi keselarasan antara gambar dan bentuk narasi adalah tuntutan utama, karena keduanya akan saling menudukung satu sama lain. Namun diatas itu semua, yang paling penting diperhatikan adalah untuk siapa kita menulis. Karenanya segmentasi untuk siapa program tersebut diperuntukan adalah hal pertama yang harus diketahui oleh seorang script writer sebelum ia bekerja. Tak jauh beda dengan radio, media Audio Visual menggunakan bahasa tutur, dalam penulisan narasinya. Pertanyaan atas jawaban bagaimana kita bisa menulis tanpa harus bersikap menggurui atau bahkan membodohi, adalah bagaimana cara seorang script writer banyak menggali ide-ide dengan lebih banyak berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Karena lingkungan sebenarnya adalah guru dan inspirasi yang tak pernah mati.
Media Televisi berkembang sangat cepat. Karenanya seiring dengan perkembangan waktu Televisi tampil menjadi primadona dalam penyampaian informasi. Tak heran, karena televisi mempunyai banyak kelebihan dibandingkan dengan media lain. Sebut saja, media visual yang ditawarkan, tak hanya berupa gambar, namun berbentuk video bergerak atau sinematografi.
Masyarakat dibuat seolah olah melihat sendiri akan suatu peristiwa. Informasi seperti inilah yang menarik masyarakat saat ini. Apalagi Di era sekarang kerangka penyampaian informasi yang harus up todate, selalu mengusung ketepatan , kecepatan dan keakurasian sebuah informasi. Karena Televisi sebagai media audio visual diakui atau tidak merupakan media penyampai informasi yang diharapkan paling lengkap untuk menjawab segala bentuk keingin tahuan masyarakat akan suatu peristiwa.
Secara implisit, bicara tentang penyampaian informasi media televisi, sebenarnya kita berbicara juga tentang komunikasi antar manusia yang difokuskan pada media elektronik audio visual.
Media televisi dituntut untuk menjadi komunikator yang lebih efektif, mudah di mengerti serta jauh dari kesan bertele- tele. Oleh sebab itulah, penulisan berita untuk media visual tidak sedetil pada media cetak atau media elektronik lainnya . Bagi seorang script writer, bisa jadi menulis merupakan sebuah kebutuhan. Karena boleh jadi hal tersebut merupakan tuangan aktualisasi diri. Menulis untuk program televisi, Tak menuntut pakem yang baku memang, tetapi keselarasan antara gambar dan bentuk narasi adalah tuntutan utama, karena keduanya akan saling menudukung satu sama lain. Namun diatas itu semua, yang paling penting diperhatikan adalah untuk siapa kita menulis. Karenanya segmentasi untuk siapa program tersebut diperuntukan adalah hal pertama yang harus diketahui oleh seorang scriptwriter sebelum ia bekerja. Tak jauh beda dengan radio, media Audio Visual menggunakan bahasa tutur, dalam penulisan narasinya. Pertanyaan atas jawaban bagaimana kita bisa menulis tanpa harus bersikap menggurui atau bahkan membodohi, adalah bagaimana cara seorang scriptwriter banyak menggali ide-ide dengan lebih banyak berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Karena lingkungan sebenarnya adalah guru dan inspirasi yang tak pernah mati.
Prinsip dasar komunikasi effektif
“Naskah tidak dibuat sebagai sebuah naskah ( script ) saja , melainkan merupakan tuangan ide yang ada dalam pikiran seorang penulis naskah berita (news writer ), atau seorang agency copy writer, ataupun specialis lainnya dalam bidang broadcast script writing. “
Naskah sebenarnya merupakan penjabaran ide dalam huruf- huruf. Awal dari sebuah penulisan adalah ide. Sedang langkah berikutnya adalah memproyeksikan ide tersebut kedalam kata-kata. Penulisan naskah untuk televisi sebenarnya tidak jauh berbeda dengan penulisan naskah untuk radio. Dalam naskah tersebut harus difikirkan pula pemilihan kata-kata yang paling efektif dan segar serta bagaimana menyusun kata-kata tersebut dengan baik, atau lebih terkesan lebih enak di dengar. Kita menyebutnya sebagai the art of writing.
Kerangka global penulisan Narasi untuk TV
Dibandingkan dengan penulisan naskah untuk radio, sebenarnya kerangka penulisan naskah untuk televisi tidak jauh berbeda. Bahasa yang digunakan adalah bahasa komunikasi standar, yakni bahasa baku atau bahasa yang digunakan masyarakat secara luas, dengan dibatasi kaidah kata dan mengikuti perkembangan masyarakat.
Ciri khas bahasa Televisi
1. Singkat dan padat, berhubungan dnegan jumlah kata dan kalimat. Dengan menggunakan kata yang sedikit, namun maknanya bisa ditangkap oleh pemirsa. Hal ini mengacu pada Televisi yang tak hanya menampilkan media audio, tetapi juga penggambaran secara visual.
2. Sederhana, Pilihan kata atau ungkapan dan kesederhanaan gaya bahasa.
3. Lugas.
4. Menarik.
5. Bahasa dan penulisan harus memperhatikan the art of writing sesuai dengan tingkat wawasan dan intelektualitas pemirsanya
Pedoman bahasa Televisi
Bahasa Televisi khususnya untuk program produksi dan program news ( bahasa jurnalistik ) terdapat lima prinsip kunci sebagai berikut :
1. Diucapkan atau dituturkan.
Naskah siaran harus berupa bahasa tutur, bukan bahasa cetak. Hindari kata- kata yang bersifat cetak. Misal : “ seperti dijelaskan diatas…., “ penggunaan kata “ Atas “ tentu saja tidak di perkenankan, karena pemirsa tidak bisa melihat informasi sebelumnya. Kata “atas “ sebaiknya di ganti dengan “ tadi” atau “ sebelumnya “
2. Dari orang ke orang.
Naskah siaran hendaknya menggunakan bahasa pergaulan. Hal ini penting untuk lebih menambah kelancaan komunikasi antara media dan pemirsanya.
3. Sinkronisasi dengan gambar yang ditampilkan.
Naskah yang disampaikan harus sesuai dengan sinematografi yang ditampilkan. Inilah yang membedakan televisi dengan media yang lainnya. Keakurasian lebih dipertimbangkan dalam penyampaikan sebuah informasi. Dalam dunia Audio visual, seorang penulis naskah atau jurnalist harus menyampaikan infomasi sesuai dengan gambar yang ada.
Struktur penulisan News dan produksi untuk TV
Penulisan narasi untuk televisi terdapat 2 hal yang berbeda. Yakni penulisan narasi untuk PRODUKSI dan penulisan narasi untuk BERITA
Secara prinsip keduanya mempunyai perbedaan yakni Penulisan untuk produksi lebih bersifat luwes dan bisa menggunakan permainan gaya bahasa, perumpaan, berbagai majas dan tidak dibatasi dengan penggunaan gaya bahasa. Biasanya penulisannya disesuaikan dengan program. Berbeda dengan penulisan narasi untuk news, yang lebih banyak mengacu pada kaidah - kaidah penulisan jurnalistik, dan sebisanya tidak menggunakan bahasa yang bertele- tele.
Struktur Penulisan Narasi untuk berita TV
Berita- berita di Televisi ditampilkan melalui Voice over +slide bulletins ( gambar- gambar berita yang dilatar belakangi dengan narasi ) yang ringkas ( summeries ) sebagai bagian dari pengembangan network production.
Pola yang dianggap ideal dalam berita Televisi disebut cerita lima kalimat ( a five sentence news story ) artinya, bila mungkin tiap topik berita cukup terdiri dari lima hal sebagai berikut :
1. Inti berita ( lead )
2. Detil yang penting
3. Latar belakang peristiwa
4. Detil lain
5. Intepretasi peristiwa
Alur kerja penulisan naskah berita pada Televisi Penulis naskah berita televisi adalah sorang journalist ( wartawan ) atau reporter. yang bertugas untuk menyampaikan sebuah informasi kepada pemirsanya. Ada kalanya seorang reporter juga dibekali dengan kemampuan untuk mengabil gambar melalui camera atau handycam.
Di lokasi kejadian peritiwa, yang harus dilakukan reporter adalah sebagai berikut
1. Merekam wawancara dengan orang- orang yang dimintai keterangan
2. Merekam general shot Yakni kumpulan gambar peristiwa tersebut.
3. Merekam Stand up ( rekaman gamabr reporter ) yang melakukan petisi ( penyampaian informasi secara singkat untuk menutup reportase ). Namun poin 3 ini tidak harus dilakukan, bila tidak begitu urgent. Apalagi jika reporter memegang kamera sendiri.
4. Membuat catatan - catatan di lapangan yang dipergunakan untuk sebuah naskah pada saat melakukan penulisan.
Setelah kembali ke studio, beberapa hal yang dilakukan :
1. me-review tape hasil rekaman dengan sequences yang tepat dan sesuai dengan urutan peristiwa. Biasanya pemutaran ini di barengi dengan proses canture gambar ke komputer. Dalam tahap ini seorang reporter akan mengingat kembali peristiwa dilapangan sebgai bekal untuk menulis.
2. menyusun naskah berita
3. Take voice. Pembacaan naskah berita yang telah siap, bisa dilakukan dengan 2 versi yakni secara live ( pada saat on air berita ) atau pada saat proses editing. Pembacaan naskah - voice over di rekam di editing, kemudian editor menyelaraskan antara suara narasi dengan gambar yang diperoleh dilapangan. Tentu saja faktor durasi menjadi petimbangan pada tahap ini. Berita televisi yang idela tidaklebih dari 3 menit dalam penyampaiannya. Disinilah peran editor untuk mengedit berita, agar tak berkesan bertele- tele, ringkas tetapi tidak menguangi isi berita.
4. Redered. - proses menyatukan gambar , narasi dan soundeffect ( bila diperlukan ) kedalam suatu file mpeg2, lalu dikirim ke master control. Sementara di Studio blue screen telah siap news reader yang akan membaca lead melalui sebuah telepromter, sebagai pengantar berita yang akan disajikan.
Langkah-langakh Menulis Naskah
Langkah penulisan sebuah program video biasanya terdiri dari serangkaian kegiatan yaitu :
· · Merumuskan ide
· · Riset
· · Penulisan outline
· · Penulisan sinopsis
· · Penulisan treatment
· · Penulisan naskah
· · Reviu naskah
· · Finalisasi naskah
Ide sebuah cerita yang akan dibuat menjadi program video dan televisi dapat diambil dari cerita yang sesungguhnya (true story) atau non fiksi dan rekaan atau fiksi. Banyak sekali sumber ide yang dapat dijadikan inspirasi untuk menulis sebuah script video dan televisi. Misalnya, novel, cerita nyata, dan lain-lain. Film JFK merupakan contoh film yang digali dari peristiwa terbunuhnya salah seorang presiden termuda di Amerika Serikat. Oliver Stone, penulis sekaligus sutradara menggunakan banyak sumber informasi untuk membuat film tersebut sehingga dapat bertutur secara objektif.
Riset sangat diperlukan setelah Anda telah menemukan sebuah ide yang akan dibuat menjadi sebuah program. Riset dalam konteks ini adalah suatu upaya mempelajari dan mengumpulkan informasi yang terkait dengan naskah yang akan ditulis. Sumber informasi dapat berupa buku, koran atau bahan publikasi lain dan orang atau narasumber yang dapat memberi informasi yang akurat tentang isi atau substansi yang akan ditulis.
Setelah memahami hasil riset atau informasi yang terkumpul, anda dapat membuat kerangka atau outline dari informasi yang akan Anda tuangkan menjadi sebuah script. Outline pada umumnya berisi garis besar informasi yang akan Anda akan tulis menjadi sebuah script.
Langkah selanjutnya adalah membuat sinopsis atau deskripsi singkat mengenai program yang akan Anda tulis. Sinopsis dan outline akan membantu memfokuskan perhatian Anda pada pengembangan ide yang telah Anda pilih sebelumnya. Penulisan sinopsis harus jelas sehingga dapat memberi gambaran tentang isi program video atau televis yang akan kita buat.
Menulis naskah harus didasarkan pada rencana yang telah dibuat yang meliputi outline, synopsis dan treatment. Seorang penulis harus memiliki kreatifitas dalam mengembangkan treatment menjadi sebuah naskah. Treatment yang ditulis dengan baik merupakan fondasi yang kokoh yang diperlukan untuk menulis sebuah naskah. Sebuah treatment harus berisi deskripsi yang jelas tentang lokasi,waktu, pemain, adegan dan property yang akan direkam ke dalam program video. Treatment juga menggambarkan tentang sistematika atau sequence program video atau televisi yang akan diproduksi.
Penulisan sebuah naskah harus didasarkan pada treatment yang dibuat. Walaupun dalam menulis naskah penulis dapat melakukan perubahan, tapi sebaiknya perubahan yang dilakukan tidak merupakan perubahan yang bersifat substantif. Perubahan sebaiknya bersifat kreatif dan tidak mengubah substansi program. Oleh karena itu treatment harus kokoh dan jelas. Dalam menulis Penulis harus memperhatikan kaidah-kaidah penulisan naskah yang benar.
Draf naskah yang telah selesai ditulis perlu ditelaah untuk melihat kebenaran substansinya dan juga cara penyampaian pesannya. Draf naskah harus ditelaah oleh orang yang mengerti substansi isi program (content expert) dan ahli media (media specialist).
B. PERBEDAAN RUANG WAWANCARA TELEVISI, RADIO & MEDIA CETAK
a. Wawancara Pers ( Media Cetak )
Wawancara pers dapat jauh lebih santai dan pernyataan dapat lebih panjang. Artikel featur surat khabar dan majalah akan meliput isu secara lebih dalam dan memberikan lebih banak ruang kepada anda. Sebagian besar wawancara pers memiliki persyratan yang sama dengan media elektronik ditinjau dari sudut kesingkatan dan nilai berita. Sifat wawancara pers yang tampaknya santai dibandingkan dengan wawancara media elektronik dengan mikrofon, kabel, lampu serta rasa urgensi dan ketegangannya seyogianya tidak menidurkan anda kedalam rasa keamanan yang salah. Wartawan pers mungkin memiliki gaya santai, tetapi mereka sama tajamnya dan persyratan mereka sama menuntutnya seperti kolega media elektonik mereka yang lebih glamour.
b. Wawancara Televisi
Televisi dilihat sebagai tantangan besar oleh sebagian besar orang yang diwawancarai dan kebanyakan takut akan wawancara TV. TV lebih menuntut dalam arti audiens melihat anda dan mengejar anda. Bahasa tubuh, pakaian, latar belakang, dan gerakan anda semuanya memberikan konstribusi pada komukasi dengan audiens. Jika kata muncul dengan benar, tetapi anda banyak berkeringat, anda kelihatan tidak dapat dipercaya. Anda harus mengeluarkan suara dan melihat dengan benar. Jika seekor lalat bergerak perlahan dihidung anda, pemirsa akan kehilangan semua yang anda katakana karena mereka terlalu tersita melihat gerakan lalat tersebut. Penampilan termasuk pakaian, rambut dan ekspresi muka penting di TV.
c. Wawancara radio
Radio seyogianya tidak dipandang sebagai “televisi tanpa gambar”. Radio memiliki karakteristik dengan manfaat komunikasi yang tidak dapat ditandingi oleh TV. Radio mengudara 24 jam sehari disebagian besar kota dengan berita setiap jam serta banyak kesempatan bagi anda untuk berbicara kepada audiens dalam acara “ talk show” dan “ talk back”. Radio menawarkan ruang lingkup lebih banyak dalam waktu penuh yang tersedia disebagian besar keadaan. Transmisi radio telah berkembang 3 kali lipat dalam 25 tahun silam dengan lebih dari satu miliar radio penerima didunia. Kira-kira satu untuk setiap 4 orang di bumi. Orang mendengar radio ketika mereka sedang berjalan, jogging, melakukan pekerjaan rumah tangga, di pantai, mandi di pancuran dan bercinta.(Deakin University, 1985:5).
Radio adalah apa yang terjadi sekarang. Bahkan wawancara yang direkam akan mengudara dalam beberapa jam paling lama. Radio memberikan ilusi hubungan “satu untuk satu”. Ini dibuktikan dengan pasti dalam hal dimana pendengar telah jatuh cinta dengan penyiar dan kaget mengetahui bahwa orang lain membagi hubungan yang sama. Satu teks menguraikan bahwa radio “Sesungguhnya merupakan piranti kita untuk menguping percakapan yang terjadi diantara 2 orang“. (King dan Robert, 1973: 24-32)
Meskipun demikian, pesan radio merupakan momen suara yang berlalu dengan cepat. Radio bukan medium untuk penjelasan yang kompleks atau daftar fakta dan statistik. Radio dapat sangat intim, mediun yang hangat. Sedangkan media cetak dingin.
Wawancara media elektronik dilakukan rmelalui cara-cara:
1. Live atau Siaran Langsung,
Wawancara yang dilakukan dengan mengundang narasumber ke stasiun televisi dan radio yang bersangkutan atau melalui telepon.
a. Wawancara Di Studio
Jika wawancara dilakukan di studio, pewawancara biasanya akan memberikan anda beberapa pengarahan tentang apa yang harus anda lakukan. Kalaupun tidak, ada beberapa hal yang harus anda perhatikan, seperti:
· Mikrofon: Pastikan jarak antara mulut dengan mikrofon tidak terlalu dekat tapi tidak terlalu jauh. Jarak ideal antara mulut dengan mikrofon adalah satu kepalan tangan. Pastikan pula anda tidak banyak bergerak karena akan mempengaruhi kualitas suara anda di udara. Masalah ini bisa diatasi jika radio yang bersangkutan menggunakan mikrofon yang menyatu dengan headphone. Oya, satu hal lagi, jangan sekali-kali meniup atau mengetuk-ngetuk mikrofon. Ini bukan pidato di kelurahan hehehehe..
· Headphone dan kontrol suara: Jangan anggap remeh fungsi headphone. Kegunaan headphone adalah untuk memonitor kualitas suara anda. Jangan segan-segan meminta pada operator atau penyiar untuk mengecilkan atau membesarkan suara di headphone sesuai dengan kenyamanan pendengaran anda.
· Matikan ponsel anda. Sinyal ponsel bisa mengganggu perangkat elektronik di studio. Matikan. Jangan di silent!
b. Wawancara Melalui Telepon
Wawancara langsung melalui telepon berbeda dengan wawancara langsung di studio. Kualitas suara telepon jauh lebih rendah sehingga seringkali membuat anda harus bicara ekstra keras dengan pengucapan yang jelas. Itu yang terpenting. Hal lain yang juga harus diketahui:
· Anda tidak akan langsung mengudara begitu di telepon. Idealnya anda akan di brief tentang apa yang harus dilakukan. Pada saat itu pastikan suara di ujung sana bisa anda dengar dengan jelas
· Sebisa mungkin minta si pewawancara untuk menghubungi nomor rumah atau kantor dan jangan melalui handphone.
· Jangan bicara terlalu dekat dengan spiker telepon. Sesuaikan jarak yang nyaman.
Seringkali anda tertarik mendengar suara anda langsung melalui di televisi dan radio.
Namun sebaiknya jangan. Pertama dia bisa menimbulkan suara feedback atau berdenging. Kedua seringkali ada keterlambatan atau delay di televisi dan radio sehingga akan menganggu proses anda mendengarkan wawancara. Kalaupun anda tetap ingin mendengarkan melalui televisi dan radio, pastikan volumenya tidak terlalu besar.
2. Wawancara Pre-Recorded atau Direkem Terlebih Dahulu
Untuk kemudian di edit sebelum disiarkan. Ini juga bisa dilakukan di studio televisi dan radio yang bersangkutan atau sipewawancara yang datang kepada anda dan melakukan wawancara dengan alat rekam atau juga melalui telepon. Pada prinsipnya wawancara pre-recorded ini sama dengan wawancara lain. Hanya saja bedanya dia tidak dilakukan secara live. Karena itu perhatikan poin-poin sebelumnya.
Selain itu ada hal lain yang juga anda perlu perhatikan, terutama berkaitan dengan wawancara yang dilakukan dengan alat rekam. Setiap alat rekam yang digunakan oleh pewawancara memiliki karekteristik yang berbeda-beda. Ada yang masih menggunakan kaset recorder biasa, mini disc recorder atau bahkan IC recorder yang sudah canggih. Para wartawan televisi dan radio itu pasti tahu seluk beluk alat rekam mereka. Namun tidak ada salahnya kalau anda memastikan untuk berbicara dengan jelas. Jangan segan-segan untuk bertanya pada pewawancara anda apakah suara anda sudah cukup jelas direkam.
PERBEDAAN WAWANCARA DI TELEVISI DENGAN MEDIA LAIN.
1. Suara/Audio
Perbedaan paling utama tentu saja adalah adanya unsur video atau audio. Sudah pasti dalam wawancara televisi video dan suara anda akan muncul. Dalam wawancara dengan media cetak, suara anda akan di rubah dalam bentuk tulisan sehingga masih memungkinkan adanya perbaikan dalam hal tata bahasa atau jika ada pendapat anda yang bisa disalah tafsirkan. Wartawan yang baik tentu akan menghubungi anda untuk konfirmasi ulang dan dengan mudah perubahan itu bisa dituliskannya. Tapi di televisi ini berarti anda harus merekamkan kembali merekam ulang dan itu tentu perlu waktu.
Karena itulah kontrol suara sangat penting saat melakukan wawancara televisi begitupun jugan dengan radio, tapi tujuannya bukan supaya suara anda jadi bagus sebagus suara Pak Sambas (alm), tapi lebih kepada agar apa yang anda sampaikan itu terdengar jelas, baik dari segi artikulasi, penyebutan maupun volume suara.
Jika suara yang terdengar terlalu besar, menjauhlah dari mikrofon dan sebaliknya. ‘Penyakit’ lain yang juga sering muncul berkaitan dengan suara ini adalah apa yang disebut sebagai bopping dan hissing. Bopping akan terjadi jika penyebutan huruf “b” atau “p” terlalu keras atau berlebihan sehingga menimbulkan suara aneh. Hissing muncul pada penyebutan huruf seperti “s” atau “x” yang berlebihan sehingga juga akan terdengar aneh dan menggangu kejelasan suara anda. Atasi dengan mengontrol jarak dengan mikrofon atau juga cara penyebutan huruf-huruf tadi.
2. Sekali lewat.
Televisi dan Radio adalah medium sekali dengar. Karena itu jangan bicara bertele-tele. Pastikan anda bicara to the point walaupun mungkin anda diberikan waktu wawancara yang panjang. Siapkan atau tuliskan poin-poin yang akan anda sampaikan. Asal tahu saja, kemampuan orang mendengarkan dan melihat di televisi dan radio sangat terbatas. Bahkan konon kemampuan orang menangkap pesan yang didengar di radio hanya maksimal 5 menit begitu juga di televisi, setelah itu mereka akan hilang konsentrasi. Jangan pula mendominasi pembicaraan. Biarkan pewawancara yang memegang kendali.
3. Unsur Emosi
Selama ini mungkin banyak yang berfikir bahwa wawancara melalui radio relatif lebih mudah, apalagi karena wajah anda tidak nampak, seperti di televisi. Tapi percayalah, emosi anda, suasana hati anda, bahkan sering kepribadian anda akan lebih nampak dari suara sedangkan di televisi semosi langsung terlihat pada pemirsa di rumah. Karena itulah dalam wawancara televisi dan radio, penting bagi anda untuk menjadi diri sendiri. Ingat! Anda bukan penyiar. Jadi jangan terlalu memusingkan mutu suara anda. Jadilah diri sendiri. Anda diundang bukan karena suara anda yang berat dan bagus seperti Pak Sambas (alm) atau Olan Sitompul. Anda diundang karena pendapat yang anda sampaikan. Tetaplah santai seperti layaknya bercakap-cakap biasa, tapi tetap kontrol suara anda agar apa yang anda sampaikan itu jelas. Walau ini bukan televisi, tapi jika anda tidak santai, justru akan sangat terasakan oleh pendengar. Bahkan dalam beberapa kasus, suara anda bisa terdengar cempreng.
Kejujuran, kehalusan dan keharuan
Ada tiga unsur vital lain dari seluruh wawancara media, kejujuran, ketulusan, dan keharuan atau empati.
Sebaiknya selalu jujur terhadap media. Ini tidak berarti harus memberitahukan segala hal kepada wartawan. Tetapi seyogianya menceritakan kebenaran dalam apa yang anda katakan. Juga sebaiknya tidak bersifat menghindar dalam menjawab pertanyaan. Dalam media elektronik, audiens akan dapat mendengar atau melihat hal ini dan akan percaya anda sedang menyembunyikan sesuatu yang buruk. Wartawan akan menyadari dan menghampiri untuk menghantamnya..
Sebagian besar wartawan sudah terlatih dalam teknik bertanya. Apakah seseorang menceritakan kebenaran. Beberapa orang terganggu jika ditanyakan pertanyaan serupa atau sama beberapa kali. Pertanyaan yang diulang-ulang dengan segala dalam bentuk sudut berbeda hanya merupakan salah satu cara memeriksa konsistensi dalam jawaban.
C. KEKUATAN AUDIO VISUAL PADA WAWANCARA TV
Menurut Babin, televisi bekerja dengan prinsip symbolic way. Televisi menggunakan imaginasi, gambar, intuisi, cerita, nyanyian, dan pengalaman-pengalaman yang di-share-kan. Pewartaan iman, menurut Babin, bisa dijalankan dengan dua cara, yaitu katekese (instruksional) dan symbolic way. Namun dalam zaman televisi ini, terlebih bila kita ingin mengadakan pewartaan iman melalui televisi, atau pewartaan/pendalaman iman bagi generasi yang dipengaruhi bahasa televisi, kita harus menggunakan bahasa simbolis. Alasannya, bahasa jenis ini mempunyai pendekatan yang penuh gambar, imaginasi dan cerita. Dampaknya bisa mendalam, menyentuh emosi orang. Tujuan utamanya bukan pemahaman intelektual, tetapi keterlibatan hati dan pertobatan. 11 Iman di zaman sekarang harus ditemukan dalam kesadaran akan pentingnya mata, atau interioritas pribadi manusia. Hanya iman yang dibangun di atas interioritas pribadi akan bertahan dan berkembang. Symbolic way adalah cara yang paling cocok untuk meletakkan suasana yang nyaman bagi sabda Tuhan di zaman modern, di antara generasi TV.
Kekuatan symbolic way tersebut digarisbawahi oleh Walter Fisher, seorang profesor pada Communication Arts and Sciences, University of Southern California 12. Ia berpendapat bahwa semua bentuk komunikasi manusia perlu dilihat sebagai ceritera yang dibangun lewat sejarah, kebudayaan dan karakter manusia. Pada dasarnya manusia adalah “binatang” yang suka bercerita. Hal ini ditegaskan dengan fakta bahwa sebagian besar tradisi religius diwariskan dari generasi ke generasi melalui cerita yang dikisahkan kembali. Dari sudut pandang naratif, bagaimanapun juga, nilai adalah inti sari dari sebuah cerita. Alkitab, misalnya, berisi banyak cerita.
William F. Fore dalam buku Mythmakers: Gospel, Culture, and the Media juga menunjukkan pentingnya perumpamaan atau cerita. Perumpamaan adalah cerita biasa yang mengandung kebenaran-kebenaran yang tidak biasa dan amat penting. Metafora adalah kata-kata yang membantu kita melihat hal-hal biasa dengan cara yang luar biasa. 13 Menurut Fore, manusia mengambil keputusan berdasarkan alasan-alasan baik yang dapat dibentuk melalui sejarah, biografi, kebudayaan dan karakter. Rasionalitas cerita ditentukan oleh koherensi dan sifat patut dipercaya dari sebuah cerita. Koherensi cerita berkaitan dengan bagaimana cerita itu tampak mungkin bagi pendengarnya. Kita sering menilai koherensi sebuah cerita dengan membandingkan cerita yang satu dengan cerita lainnya yang pernah kita dengar sehubungan dengan tema yang sama. Sebuah cerita dapat dipercaya apabila terasakan sesuai dengan pengalaman para pendengar, atau cocok dengan cerita kehidupan yang mungkin akan mereka sampaikan.
Gambar sebagai kekuatan media televisi
Semua yang saya uraikan di atas merupakan kriteria-kriteria yang bisa dibilang bersifat universal, yakni berlaku sama untuk media cetak ataupun elektronik. Namun, ada kriteria yang khusus berlaku untuk media televisi. Hal ini disebabkan oleh sifat televisi sebagai sebuah media audio-visual (ada suara dan gambar). Dari segi suara (audio), ada kemiripan televisi dengan media radio. Namun, unsur gambar (visual) inilah yang menjadi ciri khas, sekaligus kekuatan, media televisi.
Kalau seorang reporter dari suatu suratkabar baru pulang dari tugas liputan, redaktur biasanya langsung bertanya: “Kamu dapat berita apa?” Sesudah jelas, informasi apa yang diperoleh dan mau ditulis, baru si redaktur bertanya: “Ada fotonya?” Di banyak media surat kabar di Indonesia, foto (gambar) lebih sering diposisikan sebagai pelengkap berita, bukan yang utama. Artinya, tanpa satu foto pun, berita itu tetap bisa dimuat.
Hal yang kebalikannya justru terjadi di media televisi. Jika seorang reporter dengan camera-person-nya baru pulang liputan, si producer (sama dengan redaktur di media cetak) akan bertanya: “Kamu dapat gambar apa?” Aspek gambar lebih diperhatikan karena memang pada gambar inilah letak kekuatan media televisi. Penulisan narasi untuk paket berita di media televisi tergantung pada ketersediaan gambar. Bahkan tak jarang, alur narasi itu sendiri menyesuaikan dengan alur gambar.
Ketersediaan gambar ini mutlak diperlukan, karena pemirsa tidak mungkin disuguhi layar yang kosong. Ketiadaan gambar baru bisa ditoleransi untuk kasus-kasus khusus. Dalam hal ini, presenter yang akan muncul di layar dan langsung membacakan berita, tanpa diiringi gambar lain. Misalnya, breaking news tentang terjadinya gempa dan Tsunami, yang melanda pantai selatan Pulau Jawa, 17 Juli 2006. Hal ini terpaksa dilakukan karena informasi baru saja diperoleh lewat hubungan telepon, sedangkan reporter dan camera person masih dalam perjalanan dan belum sampai ke lokasi bencana.
Karena gambar (dan suara) menjadi kekuatan media televisi, seorang producer sering mengeksplorasi dua aspek tersebut, khususnya untuk liputan-liputan yang menghasilkan gambar dinamis dan dramatis. Misalnya, liputan tentang kerusuhan massal, yang disertai dengan perusakan, penjarahan, dan pembakaran. Tanpa banyak narasi, gambar peristiwa itu sendiri sudah cukup informatif dan menarik perhatian pemirsa. Narasi hanya bersifat menuturkan hal-hal yang tidak bisa diceritakan lewat gambar.
Para producer berita televisi biasanya menyukai gambar-gambar dinamis dan dramatis. Di sisi lain, mereka kurang bersemangat meliput acara yang (sudah bisa diperkirakan) akan menghasilkan gambar-gambar mati, monoton, statis, atau membosankan. Misalnya, acara seminar, simposium, diskusi, ceramah, serah-terima jabatan, peresmian ini dan itu, dan sebagainya. Gambarnya biasanya hanyalah: orang bicara, pengguntingan pita, hadirin yang duduk dan mendengarkan ceramah, dan seterusnya.